NEWS

Sri Mulyani Sebut Penerimaan Negara 2022 Akan Lampaui Target

Butuh kerja keras untuk capai target penerimaan pajak.

Sri Mulyani Sebut Penerimaan Negara 2022 Akan Lampaui TargetSri Mulyani, Menteri Keuangan RI. (Flickr)

by Hendra Friana

18 November 2021

Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi penerimaan negara di tahun 2021 akan melampaui target yang tercantum di APBN yakni Rp1.743,6 triliun. Pasalnya, hingga Oktober lalu, pemasukan ke kas negara telah mencapai Rp1.510 triliun atau 86,6 persen dari target. Penerimaan hingga akhir bulan lalu itu juga tumbuh hingga 18,2 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.

Sementara dari sektor pajak, realisasi penerimaan hingga Oktober 2021 sudah mencapai Rp953,6 triliun atau atau 77,4 persen dari target Rp1.229,6 triliun. Penerimaan pajak bulan lalu itu pun tumbuh 15,3 persen, berbanding terbalik dari tahun sebelumnya yang tercatat kontraksi 18,8 persen.

"Bayangkan, growth (pertumbuhan ekonomi) secara total 3,5 persen, namun growth penerimaan negara 18,2 persen, penerimaan pajak tumbuh 15,3 persen," ujarnya dalam Kompas100 CEO Forum, Kamis (18/11).

Menurut Bendahara Negara, tingginya penerimaan disebabkan oleh berbagai insentif yang digelontorkan pemerintah selama pandemi. Hal ini berdampak pada pergerakan ekonomi di sektor riil yang turut mengerek pendapatan perpajakan. "Ini memang kombinasi dari banyak hal di mana yang kita berikan dukungan insentif kepada dunia usaha dan basis tahun lalu yang rendah, sekarang kemampuan kita pickup cukup tinggi," jelasnya. 

Dalam hal penerimaan pajak, aktivitas ekonomi yang mulai bergeliat itu terlihat dari tumbuhnya sektor-sektor yang menjadi kontributor terbesar. PPN dalam negeri, misalnya, mengalami pertumbuhan sebesar 13,3 persen dan PPh Badan tumbuh 13,4 persen. Kemudian, PPN impor juga mengalami pertumbuhan hingga 32,3 persen. 

"Bahkan bea cukai kepabeanan tumbuhnya 9 kali lipat. Makanya neraca pembayaran untuk trade account kita luar biasa dari sisi positifnya. Nah ini adalah catatan-catatan positif yang menggambarkan dukungan atau dalam hal ini kegiatan ekonomi underlying-nya itu mulai berdegup sangat keras bahkan pada saat kita dihantam oleh Delta varian," ujarnya.

Memang, kata Sri Mulyani, varian Delta Covid-19 sempat menurunkan konsumsi rumah tangga dari 5 persen menjadi sekitar 1 persen. Namun aktivitas masyarakat tidak berhenti begitu saja, sehingga momentumnya itu masih terus terakselerasi.

Karena itu ia optimistis penerimaan negara akan melampaui target di akhir tahun. "Dengan tren ini sampai dengan akhir tahun kita berharap permintaan dari sisi penerimaan negara itu kita akan lebih dari yang kita taruh di dalam undang-undang APBN. Kita proyeksikan akan mencapai 16,3 growth-nya, terus nominalnya Rp 1.916 triliun, kita akan lihat nanti komponennya sudah kita identified," tandasnya.

Meski penerimaan negara diprediksi akan melampaui target, namun upaya untuk mencapai target pendapatan pajak bukan hal mudah. Pasalnya, masih ada sekitar Rp276 triliun yang harus dikumpulkan Direktorat Jenderal Pajak hingga akhir tahun.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor mengatakan untuk mencapai target tersebut, maka pertumbuhan pajak di November dan Desember harus mencapai 15 persen. Kendati demikian, ia tetap optimis target itu bisa tercapai jika tak ada kenaikan kasus di akhir tahun yang dapat menghambat aktivitas ekonomi di masyarakat.

Waspada Imported Inflation

Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani juga mewanti-wanti soal lonjakan inflasi sejumlah negara yang disebabkan pemulihan ekonomi yang pesat dan menyebabkan gangguan rantai pasok global. Pasalnya, hal tersebut dapat menyebabkan imported inflation atau inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga barang impor dari luar negeri akibat efek perubahan nilai tukar.

Hal ini antara lain dikarenakan adanya kekurangan sumber daya untuk memenuhi peningkatan produksi di negara-negara maju. "Produksi meningkat dan itu utamanya didrive oleh suplai. Kalau di negara maju bahkan terjadi link shortage," tuturnya.

Ia mencontohkan, rendahnya serapan tenaga kerja di negara maju seperti Amerika Serikat akibat terlalu lamanya mereka berada di rumah selama pandemi. "Karena saya bertemu dengan banyak menteri keuangan, mereka mengatakan dalam sisi tenaga kerja, dalam situasi Covid-19 yang sudah normal jadi ada dua kelompok masyarakat. Ada yang sudah nyaman di rumah ada yang ingin bekerja," jelasnya.

Fenomena ketenagakerjaan ini, menurutnya harus dicermati Indonesia karena dapat menyebabkan supply shock yang berdampak pada imported inflation. "Growth belum kuat tapi inflasi sudah tinggi. Indonesia harus betul-betul perhatikan ini. Kita tidak ingin ada imported inflation," pungkasnya.