Harga TBS Malah Turun Seiring Mulai Berjalannya Program B40

- Harga TBS sawit turun drastis setelah program B40 berjalan.
- Kebijakan larangan ekspor terhadap produk minyak sawit asam tinggi menjadi penyebab penurunan harga TBS.
- Industri biofuel di Indonesia menghadapi tantangan dari sisi produksi dan produktivitas sawit.
Jakarta, FORTUNE - Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Medali Emas Manurung, berharap penerapan program B40 dapat memberikan dampak positif bagi petani sawit, terutama dalam menjaga stabilitas harga Tandan Buah Segar (TBS).
Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan tren sebaliknya. Setelah program B40 mulai berjalan, harga TBS sawit mengalami penurunan drastis ke kisaran Rp1.000–Rp1.200 per kilogram (kg), lebih rendah dibandingkan saat penerapan B30 dan B35.
“Menurut kajian PASPI, biodiesel memiliki delapan manfaat utama, salah satunya menjaga stabilitas harga CPO, yang pada akhirnya berdampak pada harga TBS. Namun, dengan B40, justru terjadi penurunan harga CPO, baik di pasar domestik seperti KPBN maupun Bursa Malaysia. Akibatnya, harga TBS ikut anjlok,” kata Gulat dalam diskusi bertajuk Strategi Penguatan Hilirisasi Sawit bagi Pangan dan Energi Indonesia, yang diselenggarakan oleh Majalah Sawit Indonesia pada Sabtu (22/2).
Gulat menduga kebijakan larangan ekspor terhadap produk minyak sawit berkadar asam tinggi, seperti Palm Oil Mill Effluent (POME) dan High Acid Palm Oil Residue (HAPOR), menjadi penyebab utama penurunan harga TBS. Sebab, minyak sawit dengan kadar asam tinggi dihargai sekitar Rp9.000 per kg, sementara harga CPO mencapai Rp13.000 per kg.
Pemerintah telah memperketat aturan ekspor terhadap limbah pabrik kelapa sawit, residu minyak sawit asam tinggi, serta minyak jelantah melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2025, yang merevisi aturan sebelumnya (Permendag Nomor 26 Tahun 2024).
Regulasi ini resmi berlaku sejak 8 Januari 2025.
Gulat mengatakan dengan adanya pembatasan ekspor ini, stok POME, HAPOR, dan minyak jelantah di dalam negeri semakin melimpah. Hal ini berpotensi membuat produsen Fatty Acid Methyl Ester (FAME) atau biodiesel memilih bahan baku tersebut sebagai substitusi CPO, mengingat harga lebih murah pada kisaran Rp9.000–Rp12.000 per kg.
Sebagai perbandingan, per 7 Februari 2025, harga CPO rata-rata Rp13.875 per kg.
Tantangan lain dalam program B40
Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Fenny Sofyan, mengatakan selain fluktuasi harga, industri biofuel di Indonesia juga menghadapi tantangan dari sisi produksi dan produktivitas sawit.
Data GAPKI menunjukkan produksi CPO dan CPKO pada 2024 turun menjadi 52,7 juta ton dibandingkan dengan 54,8 juta ton pada 2023.
Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Namun, pelaksanaannya masih terkendala ketidakpastian hukum.
Fenny menyoroti banyaknya regulasi yang tumpang tindih akibat keterlibatan 37 kementerian dan lembaga dalam pengaturan industri sawit. Selain itu, perubahan kebijakan yang kerap terjadi juga menambah ketidakpastian bagi pelaku usaha.
“GAPKI berharap pemerintah bisa memberikan kepastian hukum dan legalitas bagi sektor hulu perkebunan sawit. Saat ini, banyak perkebunan yang diklaim masuk dalam kawasan hutan, meskipun sudah memiliki hak guna lahan. Perkebunan yang terdampak oleh Pasal 110B berisiko kehilangan luas lahan hingga 2,6 juta hektare karena hanya diizinkan beroperasi satu siklus dan kemudian wajib dikonversi kembali menjadi hutan,” kata Fenny.