Jakarta, FORTUNE - Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengumumkan Indonesia mencatatkan surplus perdagangan signifikan dengan Amerika Serikat (AS) sebesar US$9,92 miliar pada semester I-2025. Capaian ini menjadi sorotan utama di tengah rencana penerapan tarif resiprokal oleh pemerintahan Presiden AS, Donald Trump, yang menunjukkan daya saing produk Indonesia di pasar global.
Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyatakan AS merupakan negara penyumbang surplus neraca dagang terbesar bagi Indonesia selama paruh pertama tahun ini.
“Kalau kita lihat mitra dagang kita, surplus tertinggi adalah ke Amerika, yaitu sebesar US$9,92 miliar,” ujar Budi dalam konferensi pers di Kantor Kemendag, Jakarta, Senin (4/8).
Budi mengatakan nilai ekspor Indonesia ke AS pada periode tersebut mencapai US$14,79 miliar, sementara impor dari AS mencapai US$4,87 miliar. Ia menyatakan pemerintah akan terus mendorong kinerja ekspor demi mengantisipasi pemberlakuan kebijakan tarif tersebut.
Selain dengan AS, Indonesia juga menikmati surplus perdagangan dengan sejumlah negara mitra utama lainnya. Di antaranya adalah India (US$6,64miliar), Filipina(US$4,36 miliar), dan Malaysia (US$3,67miliar). Secara kawasan, surplus terbesar dibukukan dengan ASEAN sebesar US$9,6 miliar dan Uni Eropa US$3,8 miliar.
Meski demikian, Budi mengakui neraca perdagangan Indonesia secara keseluruhan masih menghadapi tantangan defisit dari beberapa negara, terutama Cina. Walaupun negara tersebut telah menjadi tujuan ekspor terbesar Indonesia dengan nilai US$29,31 miliar, volume impor yang tinggi membuat neraca dagang tetap defisit.
Namun, ia menekankan mayoritas impor dari Cina bersifat produktif.
“Sebagian besar impor kita [dari Cina] berupa bahan baku dan penolong sebesar 71,38 persen dan bahan modal 19,84 persen. Bahan konsumsi hanya 7,7 persen,” katanya.
Dari sisi komoditas, beberapa produk ekspor non-migas Indonesia mencatatkan lonjakan pertumbuhan signifikan sepanjang semester I-2025. Di antaranya adalah kakao dan olahannya (naik 129,86 persen), kopi dan rempah-rempah (86,5 persen), serta timah dan turunannya (80,80 persen).
Sementara itu, Swiss menjadi negara tujuan ekspor dengan pertumbuhan tertinggi, yang didorong oleh implementasi perjanjian dagang dengan negara-negara EFTA.
“Swiss mencatatkan pertumbuhan ekspor tertinggi, kemudian disusul Arab Saudi 49 persen, Thailand 45 persen, dan Bangladesh 38 persen,” ujar Budi.