Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IMG_20251024_085058.jpg
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga saat memberikan sambutan saat acara Workshop Jurnalis Promosi UKM Sawit di Kota Tangerang Selatan, Kamis (23/10). (Eko Wahyudi/Fortune Indonesia)

Intinya sih...

  • Kemajuan industri kelapa sawit Indonesia bergantung pada koperasi dan UMKM

  • Produksi minyak sawit stagnan, tetapi Indonesia tetap produsen terbesar di dunia

  • Sawit memiliki potensi besar dalam menggerakkan perekonomian

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banten, FORTUNE - Masa depan industri kelapa sawit Indonesia akan sangat ditentukan oleh kemajuan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tanpa penguatan dua pilar ekonomi rakyat tersebut, upaya Indonesia menjaga dominasi global pada sektor sawit dikhawatirkan akan berjalan di tempat.

Kolaborasi lintas-sektor pun menjadi kunci agar koperasi dan UMKM sawit dapat naik kelas dan berperan aktif dalam rantai nilai industri, terutama pada sisi hilirisasi.

Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, mengatakan sawit merupakan komoditas “ajaib” karena memiliki daya guna ekonomi, sosial, dan ekologis yang sangat besar dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya.

Namun, potensi besar itu hanya bisa tercapai bila dikelola secara modern dan berbasis teknologi.

“Mulai 2026, titik kemajuan sawit ada di UMKM dan koperasi. Bentuk koperasi modern yang berbasis teknologi, bukan seperti dulu. Jangan hanya memproduksi TBS sawit tetapi harus sampai kepada produk hilirnya,” kata Sahat dalam Workshop Jurnalis Promosi UKM Sawit di Tangerang Selatan, Kamis (23/10).

Meski begitu, Sahat menilai banyak koperasi sawit di Indonesia masih dikelola langsung oleh petani, sehingga menghadapi berbagai kendala manajerial dan finansial. Ia menilai koperasi perlu dipimpin oleh tenaga profesional agar petani bisa berkonsentrasi dalam mengelola kebun, sementara keuntungan dan nilai tambah dapat dirasakan lebih optimal.

“Kita perlu belajar dari Afrika, negara tempat sawit berasal. Mereka punya tanamannya dan lahan luas, tetapi sawitnya tidak maju karena dikelola langsung oleh para petani, ditambah lagi perang saudara. Indonesia lebih baik dari itu, tetapi harus bisa lebih baik dari yang ada sekarang,” ujarnya.

Menurut Sahat, UMKM juga membutuhkan pendampingan, akses bahan baku, regulasi yang memudahkan, serta teknologi agar mampu bersaing dan mengolah produk turunan sawit.

Ia menegaskan kunci kemajuan industri sawit nasional bukan hanya pada perusahaan besar, tetapi pada penguatan koperasi dan UMKM di tingkat akar rumput.

“Sudah saatnya mereka menjadi subyek, bukan lagi obyek,” katanya.

Produksi sawit stagnan dan harus inovasi

Data Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) menunjukkan, produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia pada 2024 mencapai 48,16 juta ton dan palm kernel oil (PKO) sebesar 4,59 juta ton, atau total 52,76 juta ton—turun 3,8 persen dari tahun sebelumnya.

Meski menurun, Indonesia tetap menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Dari total 16,8 juta hektare lahan sawit nasional, sekitar 40 persen atau 6,72 juta hektare dikelola oleh petani kecil (smallholders). Dengan pendapatan rata-rata Rp24 juta per hektare per tahun, petani sawit menyumbang sekitar Rp168 triliun per tahun hanya dari penjualan Tandan Buah Segar (TBS). Angka ini, kata Sahat, bisa melonjak signifikan jika petani turut mengolah produk hilir.

Namun, stagnasi produksi sawit dalam lima tahun terakhir menunjukkan masih banyak tantangan, salah satunya peremajaan sawit rakyat (replanting) yang terkendala status lahan di kawasan hutan.

Sementara itu, Kepala SEAFAST Center IPB University, Puspo Edi Giriwono, mengatakan sawit mampu menggerakkan perekonomian dari akar rumput hingga industri besar.

“Kalau kita kuasai teknologinya, sawit bahkan bisa jadi bahan bakar roket. Sama-sama hidrokarbon seperti minyak bumi, tapi sawit bisa tumbuh egaliter dari bawah,” ujar dia.

Dia menilai efisiensi sawit jauh melampaui minyak nabati lain. Untuk menghasilkan 1 ton minyak nabati, tanaman kedelai memerlukan 2 hektare lahan, bunga matahari 1,43 hektare, sementara kelapa sawit hanya 0,26 hektare.

“Produk turunan sawit sangat luas, mulai dari pangan hingga nonpangan seperti biodiesel, pelumas, tinta, plastik, hingga deterjen. Bahkan, minyak sawit merah bisa digunakan untuk mencegah gizi buruk karena mengandung vitamin E yang tinggi,” kata Puspo.

Produk turunan sawit kini menjangkau berbagai sektor, mulai dari perawatan kulit, lilin aromaterapi, sabun, hingga makanan premium. Namun, tantangan utama adalah pola pikir dan branding.

“UMKM kita harus berani naik kelas, bukan hanya jadi perajin lokal,” ujarnya.

 

 

Editorial Team