NEWS

Evergrande Gagal Lagi Bayar Bunga Obligasi, Risiko Default Kian Mendek

Sentimen negatif Evergrande mulai merebak ke pasar properti.

Evergrande Gagal Lagi Bayar Bunga Obligasi, Risiko Default Kian MendekShutterstock/hxdbzxy
13 October 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Perusahaan properti raksasa Cina, Evergrande Group, dikabarkan kembali melewati tenggat pembayaran bunga utang obligasinya. Dengan kondisi keuangan morat-marit, risiko gagal bayar (default) kian menghantuinya.

Melansir The Financial Times, investor surat utang Evergrande pada Selasa (12/10) mengatakan belum menerima pembayaran bunga tiga obligasi luar negeri perusahaan tersebut. Jumlah bunga yang harus dibayarkan mencapai US$148 juta dalam mata uang dolar.

Pada akhir bulan lalu, Evergrande juga gagal memenuhi tenggat pembayaran bunga utang US$83,5 juta yang jatuh tempo tahun depan. Karena tidak membayar, perusahaan tersebut memiliki masa tenggang 30 hari sebelum resmi dinyatakan default. Masalahnya, Evergrande melewatkan setidaknya lima pembayaran bunga obligasi.

Para pemegang obligasi internasional Evergrande sebelumnya juga dikabarkan telah menyewa penasihat dari bank investasi Moelis dan firma hukum Kirkland & Ellis untuk memberikan masukan pada proses restrukturisasi utang perusahaan. Namun, para penasihat itu mengatakan default “sudah mendekat”.

Perdagangan saham Evergrande di pasar modal Hong Kong juga sudah dihentikan setelah perusahaan itu tak lagi menjual properti,

Perusahaan properti terbesar kedua Tiongkok tersebut pada September mengumumkan darurat kondisi keuangan. Evergrande menyatakan tidak lagi sanggup membayar pinjaman jatuh tempo senilai US$300 miliar karena kinerja penjualan properti serta asetnya memburuk.

Sentimen Evergrande berdampak ke pasar properti

Krisis Evergrande ini kemudian berdampak pada sentimen negatif terhadap pasar properti Cina. Sejumlah perusahaan properti di Negeri Tirai Bambu dikabarkan melewatkan pembayaran surat utangnya.

Perusahaan properti Modern Land, misalnya, pada Selasa (12/10) juga meminta penundaan pembayaran obligasi yang akan jatuh pada akhir bulan ini selama tiga bulan. Akibat hal tersebut, saham perusahaan ini turun 3 persen.

Berdasarkan data Revinitif yang dikutip Reuters, setidaknya ada sekitar US$92,3 miliar jumlah obligasi yang akan jatuh tempo tahun depan. Masalahnya, jika terjadi gagal bayar atas obligasi tersebut, dampaknya akan sangat besar lantaran sektor properti menyumbang sekitar seperempat perekonomian Cina.

“Kami melihat lebih banyak default ke depan jika masalah likuiditas tidak membaik secara nyata," kata pialang CGS-CIMB dalam sebuah catatan. Mereka juga mengatakan bahwa pengembang dengan peringkat kredit yang lebih lemah akan sangat sulit membiayai kembali utang.

Sementara, obligasi dengan tenor milik pemerintah Cina juga meningkat bahkan mencapai level tertinggi sejak April 2020. Kondisi ini menyiratkan banyaknya aksi jual pada instrumen-instrumen keuangan yang berkaitan dengan properti.

“Masalah di sektor properti Cina sekarang berdampak pada pandangan umum investor tentang risiko sistematis," kata Charles MacGregor, kepala Asia di Lucr Analytics, seraya menambahkan bahwa obligasi pemerintah Cina dengan imbal hasil tinggi mengindikasikan kondisi yang tertekan akibat kelangkaan pembeli.

Peringatan IMF

Sementara itu, Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporannya menyatakan pemerintah Ciina memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah utang Evergrande alih-alih peningkatan risiko tekanan pasar properti yang juga berdampak pada stabilitas keuangan.

"Saya pikir pihak berwenang memiliki sarana untuk mengatasi situasi ini," kata Tobias Adrian, Direktur Departemen Moneter dan Pasar Modal IMF, dikutip Reuters.

Menurut Adrian, pemerintah Cina memiliki kapasitas fiskal serta perangkat hukum untuk mengatasi masalah ini. Dia menyebut, satu hal yang mungkin perlu diperbaiki adalah upaya komunikasinya.

Menurut laporan IMF, dampak krisis Evergrande sejauh ini terbatas pada pengembang properti lain yang lemah secara finansial dan perusahaan dengan peringkat utang lebih rendah. Jika situasinya meningkat, kata IMF, ada risiko bahwa tekanan keuangan yang lebih luas dapat muncul, dengan implikasi bagi ekonomi dan sektor keuangan Cina serta pasar modal global secara ekstrem.

Namun, Cina sendiri dikabarkan telah mendorong sejumlah BUMN setempat untuk membeli beberapa aset Evergrande. "Selama pihak berwenang memiliki rencana yang jelas, saya berharap situasinya bisa diselesaikan," katanya. 

Related Topics