Keputusan PBB untuk melakukan penghematan drastis didorong oleh krisis keuangan akut yang membelenggu organisasi. Salah satu faktor utama ialah tunggakan kontribusi dari sejumlah negara anggota, terutama Amerika Serikat yang hingga kini belum melunasi pembayaran sebesar US$1,5 miliar atau sekitar Rp24 triliun.
Tunggakan tersebut mencakup kewajiban tahun berjalan serta utang dari tahun-tahun sebelumnya. Kondisi keuangan PBB juga diperburuk oleh keterlambatan kontribusi dari Tiongkok. Padahal, Amerika Serikat dan Tiongkok menyumbang lebih dari 40 persen dari total pendanaan PBB.
Situasi ini merupakan kelanjutan dari kebijakan era Presiden Donald Trump yang secara signifikan memangkas dana diskresioner hingga ratusan juta dolar AS. Akibatnya, terjadi penghentian sejumlah program kemanusiaan.
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, telah mengisyaratkan akan dilakukan restrukturisasi secara masif. Dalam berbagai pernyataan publik, ia menyebut reformasi akan melibatkan penggabungan departemen, relokasi pegawai ke wilayah dengan biaya operasional yang lebih rendah, serta pemangkasan struktur birokrasi yang tumpang tindih.
PBB juga akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas berbagai badan dan lembaga di bawah naungannya. Menurut Guterres, tujuan reformasi tidak semata-mata untuk mencapai efisiensi, melainkan juga memastikan PBB tetap relevan dan mampu menjalankan mandatnya secara maksimal.
“Menunda keputusan sulit hanya akan membawa kita ke jalan buntu,” tegas Guterres.