Jakarta, FORTUNE - Pemerintah memutuskan tidak akan membuka keran impor beras industri pada 2026. Kepastian ini disampaikan langsung oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso saat Fortune Indonesia menemuinya di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (19/12).
Ia menegaskan keputusan tersebut merupakan hasil rapat koordinasi terbatas (rakortas) yang dipimpin Kementerian Koordinator Bidang Pangan terkait penetapan neraca komoditas nasional.
Budi mengatakan seluruh kebijakan impor, termasuk beras industri, sepenuhnya mengikuti hasil penetapan Neraca Komoditas yang disusun berdasarkan usulan kementerian teknis.
“Yang mengusulkan kebutuhannya bukan di kami, tapi kementerian teknis,” ujar Budi.
Dalam pernyataannya, Budi merujuk pada penjelasan sebelumnya dari Deputi Bidang Koordinasi Tata Niaga dan Distribusi Pangan Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Tatang Yuliono, yang memastikan tidak adanya alokasi beras industri untuk tahun depan.
“Kami ikut saja sesuai Neraca Komoditas,” ujarnya.
Saat ditanya mengenai alasan penghentian impor meski tahun ini masih ada alokasi impor beras industri, Budi kembali menegaskan keputusan sepenuhnya didasarkan pada perhitungan neraca kebutuhan-versus-pasokan yang ditetapkan lintas kementerian.
“Kami ikuti keputusan Neraca Komoditas, karena bukan di kami yang mengusulkan,” katanya.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengajukan impor beras industri sebanyak 380.952 ton untuk kebutuhan 2026. Namun, usulan tersebut tidak tercantum dalam hasil final Neraca Komoditas.
Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indonesia masih melakukan impor beras sepanjang 2025. BPS mencatat impor beras 364,3 ribu ton dengan nilai US$178,5 juta atau sekitar Rp2,97 triliun pada periode Januari–Oktober 2025. Mayoritas impor tersebut berasal dari Myanmar, Thailand, dan India.
Pada Oktober 2025 saja, volume impor beras mencapai 40.700 ton dengan nilai US$19,1 juta atau sekitar Rp318 miliar. Namun, BPS juga mencatat bahwa potensi produksi beras nasional pada 2025 mencapai 34,79 juta ton, meningkat 13,6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Kenaikan produksi tersebut didorong oleh lonjakan luas panen yang diperkirakan mencapai 11,36 juta hektare.
Meski angka potensi ini cukup besar, BPS mengingatkan proyeksi tersebut masih dapat berubah bergantung pada kondisi pertanaman November 2025 hingga Januari 2026, termasuk risiko hama, banjir, dan kekeringan.
