Jakarta, FORTUNE – Presiden Prabowo Subianto menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 (6/7) di Rio de Janeiro, Brasil. Prabowo hadir untuk pertama kalinya setelah Indonesia menjadi anggota BRICS pada Januari 2025 silam.
KTT yang mengusung tema “Strengthening Global South Cooperation for More Inclusive and Sustainable Governance” ini menjadi salah satu langkah penting yang diambil Presiden Prabowo dalam menghadapi tantangan geopolitik dan geostrategis global. Dalam konferensi ini juga dibahas seputar topik perdamaian dan keamanan global hingga kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Ekonom Indef & Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini memandang diplomasi yang dilakukan Prabowo cukup agresif namun sedikit berisiko. Meski Indonesia berada dalam posisi politik bebas aktif, namun ini merupakan upaya untuk tetap eksis dan survive di dunia internasional, yang rapuh secara geopolitik.
“Meskipun belum memiliki aliansi militer kuat, tetapi kekuatan ekonomi Brics+ sangat besar dan signifikan. KTT BRICS dihadiri pemimpin negara dan pemimpin organisasi internasional. Ini menandakan bahwa BRICS akan berperan di dalam dunia internasional secara signifikan,” kata Didik melalui pesan tertulis kepada Fortune Indonesia di Jakarta, Senin (7/7).
Didik menilai ekonomi dunia saat ini melihat dua kutub persaingan Amerika Serikat dan Tiongkok. Meskipun terdapat dua kekuatan besar, tetapi sejatinya ekonomi mengarah ke realitas global yang multipolar.
“Ekonomi global sudah terfragmentasi. Dunia menuju deglobalisasi parsial—lebih banyak proteksionisme, dan pemisahan blok dagang barat dan timur. Tumbuhnya BRICS+ dan Global South: Brasil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan membentuk aliansi baru yang menarik lebih banyak negara berkembang, sebagai tandingan G7,” jelas Didik.
Hingga saat ini anggota BRICS terdiri dari 11 negara antara lain Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, Ethiopia, Iran, Indonesia.