Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
1f4086fc-4529-41a3-9f52-0a4720228ef0-1536x1024.jpeg
Sidang KPPU terkait dugaan praktik monopoli yang dilakukan 97 pelaku perusahaan fintech/Dok KPPU

Intinya sih...

  • KPPU melanjutkan sidang dugaan kartel pinjol yang melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

  • Ahli hukum menyatakan kesepakatan bersama pelaku pinjol tidak melanggar aturan dan dilakukan untuk kepentingan masyarakat.

  • Ahli hukum menyarankan KPPU meminta keterangan OJK sebagai regulator terkait penentuan batas bunga pinjol.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melanjutkan sidang terkait dugaan praktik monopoli atau kartel yang dilakukan 97 pelaku perusahaan fintech atau pinjaman online (pinjol). Sejumlah pelaku pinjol tersebut diduga melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait pembatasan suku bunga pinjaman 0,8 persen per hari.

Dalam sidang yang berlangsung pada Senin, (24/11), di Gedung RB Supardan, Jakarta, KPPU menghadirkan dan meminta keterangan empat orang ahli yang berasal dari bidang hukum persaingan usaha. Para ahli memberikan keterangan mengenai indikator dan parameter hukum dalam menilai potensi kesepakatan antar pelaku usaha yang dapat mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat dalam layanan P2P Lending.

Dalam kesaksiannya, Ningrum Natasya Sirait yang merupakan Pakar Hukum sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, menyatakan bahwa para pelaku pinjol tidak melanggar aturan secara hukum lantaran yang dilakukan adalah kesepakatan bersama untuk kepentingan masyarakat dan tidak merugikan pihak lain. 

“Itu bukan pelanggaran, sebab yang dilarang oleh undang-undang adalah kartel yang muncul dari keinginan sebagian pelaku usaha yang bersaing secara horizontal,” kata Ningrum saat ditemui Fortune Indonesia usai persidangan.

Ningrum menyebut, tak semua sistem penentuan harga buruk dan merugikan berbagai pihak. Ia menganalogikan sistem penyamaan harga yang dilakukan fintech layaknya pengaturan kebijakan minyak yang dilakukan oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak atau OPEC. Apalagi, keputusan ini dibuat untuk melindungi masyarakat dari jeratan pinjol ilegal.

Saksi ahli harap KPPU panggil OJK sebagai regulator

Sidang Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dipimpin Ketua Majelis Moh Noor Rofieq serta anggota majelis M Fanshurullah Asa dan Rhido Jusmadi menjatuhkan sanksi dengan Rp449 miliar kepada Sany Group di Jakarta, Selasa (5/7).(Dok.KPPU)

Ningrum menambahkan, sebagai regulator, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai memiliki andil besar terkait penentuan batas bunga pinjol. Ia mengatakan, OJK sebagai lembaga pasti mempertimbangkan dengan matang batas ketentuan bunga. Sebab, industri fintech menyentuh berbagai lapisan masyarakat. 

“Kalau OJK mengarahkan tarif tertentu misalnya, itu bisa menjadi alat untuk mengatur pasar. Maka KPPU jangan represif, harus lebih sensitif melihat kasus ini. Panggil juga OJK sesuai pasal 35E. Tugas KPPU itu memberi saran dan pertimbangan,” kata Ningrum.

Sebelumnya, Ketua Bidang Humas AFPI, Kuseryansah juga sempat menegaskan bahwa batasan bunga kala itu untuk melindungi konsumen dan sejalan dengan imbauan dari OJK. Kala itu, lanjut Kuseryansah, bunga pinjol masih ada yang di atas 1 persen per hari dan dinilai membebani masyarakat. 

“Penentuan batas maksimum manfaat ekonomi dari yang awalnya tidak diatur, akhirnya diatur ke 0,8 persen. Karena, dulu ada pinjol yang menetapkan bunga di angka 1,3 persen per hari, ada yang 1 persen per hari,” katanya

Di sisi lain, pihaknya akan tetap  menghormati dan mengikuti proses persidangan di KPPU. Namun, pihaknya mendorong pelaku industri untuk mempersiapkan bukti-bukti bahwa pengaturan suku bunga ini tidak seperti kartel.

Selain Ningrum, terdapat tiga saksi ahli hukum lainnya yang dihadirkan, antara lain ⁠Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Nindyo Pramono, Pengamat Hukum, Ditha Wiradiputra serta Dosen ⁠Hanif Nur Widhiyanti.

Editorial Team