KPPU Ingatkan Bahayanya Pembatasan Impor BBM Non-Subsidi

- KPPU mengingatkan dampak negatif pembatasan impor BBM non-subsidi terhadap iklim persaingan usaha dan pilihan konsumen.
- Kebijakan Kementerian ESDM memengaruhi operasionalisasi badan usaha swasta dan memperkuat dominasi pasar Pertamina.
- Pembatasan ini membuat pangsa pasar BBM non-subsidi didominasi oleh Pertamina Patra Niaga dengan porsi ±92,5 persen.
Jakarta, FORTUNE - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyoroti potensi dampak negatif dari kebijakan pemerintah yang membatasi impor bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi. Regulasi ini dinilai berisiko mengganggu iklim persaingan usaha yang sehat, memperkuat dominasi pasar BUMN, dan mengurangi pilihan bagi konsumen.
Peringatan ini merespons kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menetapkan batas maksimal kenaikan impor bensin non-subsidi sebesar 10 persen dari volume penjualan 2024. Aturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Nomor T-19/MG.05/WM.M/2025 tertanggal 17 Juli 2025.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU, Deswin Nur, mengatakan analisis pihaknya menunjukkan kebijakan ini dapat merugikan berbagai pihak.
“Hasil analisis menunjukkan kebijakan ini memengaruhi kelangsungan operasional badan usaha swasta yang bergantung sepenuhnya pada impor, sekaligus memperkuat dominasi pasar Pertamina. Konsumen pun kehilangan pilihan produk BBM non-subsidi,” kata Deswin dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (18/9).
Data KPPU menunjukkan disparitas alokasi yang signifikan akibat aturan ini. Tambahan volume impor bagi badan usaha (BU) swasta hanya berada pada kisaran 7.000–44.000 kiloliter, sementara PT Pertamina Patra Niaga memperoleh tambahan sekitar 613.000 kiloliter. Saat ini, pangsa pasar BBM non-subsidi Pertamina telah mencapai ±92,5 persen.
Menurut KPPU, kondisi pasar yang sangat terkonsentrasi ini dapat memicu berbagai risiko persaingan usaha tidak sehat, mulai dari pembatasan pasar (market foreclosure), diskriminasi harga dan pasokan, hingga penguatan dominasi satu pelaku usaha.
Selain itu, keterbatasan pemanfaatan infrastruktur milik BU swasta juga berpotensi menimbulkan inefisiensi dan mengirimkan sinyal negatif bagi investasi baru di sektor hilir migas.
“Kami memandang penting agar kebijakan impor BBM non-subsidi dievaluasi secara berkala. Tujuannya untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas energi, efisiensi pasar, dan keberlanjutan iklim investasi,” kata Deswin.
KPPU mendorong agar setiap kebijakan pemerintah tetap memperhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat. Hal ini diyakini penting agar target pertumbuhan ekonomi nasional dapat tercapai, baik melalui penguatan peran BUMN maupun dengan mendorong kontribusi badan usaha swasta.