Kerusuhan Akibat Debt Collector di Kalibata Bukti Lemahnya Pengawasan

- Kerusuhan dan pengeroyokan debt collector di Kalibata, Jakarta Selatan menunjukkan lemahnya pengawasan penagihan yang cenderung arogan.
- Regulasi terkait debt collector belum efektif, menghadapi dilema antara disiplin kredit dan kekerasan berulang.
- Ada 13 ribu aduan terkait penagihan debt collector, mencerminkan pola penagihan utang yang bermasalah dan menyebabkan kerugian hingga Rp1,2 miliar.
Jakarta, FORTUNE – Tragedi kerusuhan dan pengeroyokan debt collector atau mata elang (matel) terjadi di Jalan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan pada Kamis (11/12) Sore. Kejadian ini menambah panjang rentetan peristiwa penagihan yang mengakibatkan korban di berbagai daerah di Indonesia.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, memandang terjadinya tragedi ini lantaran lemahnya pengawasan proses penagihan yang cenderung arogan. Di sisi lain, pelaku industri dituntut untuk menumbuhkan kredit pembiayaan.
“Seakan-akan, negara membiarkan sengketa perdata merembes menjadi kekerasan di ruang publik,” kata Achmad kepada Fortune Indonesia di Jakarta, Selasa (16/12).
Regulasi POJK terkait debt collector belum efektif

Di titik ini, pelaku perusahaan pembiayaan juga menghadapi dilema layaknya simalakama. Bila penagihan dikurangi total, disiplin kredit bisa terganggu dan biaya kredit semakin naik. Namun demikian, bila penagihan dibiarkan melalui pihak ketiga tanpa kontrol kuat, kekerasan akan terus berulang, reputasi industri rusak, dan kepercayaan publik runtuh.
Dari sisi regulasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memasang rambu. Dalam POJK 22 Tahun 2023, ada ketentuan yang membuka ruang kerjasama penagihan dengan pihak lain, tetapi mensyaratkan pihak tersebut berbadan hukum, berizin, dan punya SDM bersertifikasi, serta menegaskan pelaku usaha bertanggung jawab atas dampaknya.
Pada saat yang sama, POJK 22/2023 juga melarang penagihan dengan ancaman, kekerasan, atau tindakan mempermalukan, dan mewajibkan penagihan sesuai norma masyarakat serta peraturan perundang-undangan. Masih menurut POJK yang sama, sanksi administratif dapat mencapai denda maksimal Rp15 miliar.
“Namun jika rambu ini benar-benar efektif, mengapa kekerasan terus berulang dan terus viral? Jawabannya sederhana regulasi tanpa penegakan hanyalah tulisan,” kata Achmad.
Terdapat 13 ribu aduan terkait penagihan debt collector

Di sisi lain, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi sempat mengungkapkan, bahwa sepanjang 2024 hingga Oktober 2025, terdapat 36.873 aduan penagihan, sekitar 13 ribu di antaranya terkait perilaku debt collector. Serta 1.672 aduan penagihan pinjaman online.
Kondisi ini tentu mencerminkan pola penagihan utang yang kerap bermasalah, terutama penarikan kendaraan secara paksa di jalan dengan cara konfrontatif.
Insiden kerusuhan dan pengeroyokan di Kalibata bermula saat dua debt collector melakukan penarikan paksa terhadap kendaraan milik tersangka berinisial AM yang diduga menunggak cicilan multifinance dan terjadi perselisihan. AM yang merupakan anggota polisi bersama lima rekannya lantas melakukan pengeroyokan yang menyebabkan satu matel tewas dan satu lainnya mengalami kritis.
Buntut dari peristiwa tersebut, rekan dari debt collector juga melakukan perusakan dan pembakaran di sejumlah ruko, warung tenda, sepeda motor, mobil hingga kaca rumah warga di sekitar tempat kejadian. Tak tanggung-tanggung, total kerugian ditaksir mencapai Rp1,2 miliar akibat dari kerusuhan tersebut. Saat ini enam tersangka pengeroyokan telah ditangkap pihak kepolisian.


















