Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Ilustrasi kesetaraan gender. (Pixabay/Geralt)

Jakarta, FORTUNE – Seiring dengan meningkatnya desakan untuk meredam dampak perubahan iklim, dorongan untuk menjalankan praktik ekonomi hijau kian mengemuka. Namun, masalahnya, ekonomi hijau tak sejalan dengan kesadaran masyarakat akan kesetaraan gender. Padahal keduanya sama-sama menjadi bagian dari tujuan pengembangan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).

Menyitir Fortune.com (19/11), sejumlah peneliti mengadakan studi tentang siapa yang akan lebih diuntungkan oleh keberadaan ekonomi hijau dilihat dari kacamata kesetaraan gender. Studi ini pun didasarkan atas berbagai temuan yang didapatkan Boston Consulting Group (BCG).

Secara umum, penelitian ini menunjukkan bahwa ekonomi hijau akan menghadirkan sejumlah peluang besar dan berpotensi meningkatkan kemakmuran. Sayangnya, dilihat dari tingkat kesetaraan gender, perempuan diprediksi akan kehilangan banyak. Sebab, 75 persen pekerjaan ramah lingkungan pada 2030 akan dikuasai oleh kaum pria.

Kehadiran perempuan justru dinilai memperkuat ekonomi hijau

Hasil ini cukup kontradiktif. Pasalnya, penelitian BCG tersebut juga menyebutkan bahwa kehadiran kaum perempuan dalam struktur pembangun ekonomi hijau dinilai akan menghasilkan lebih banyak formasi dan inovasi usaha kecil.

Hal ini semakin kuat dengan perkiraan para analis BCG, bahwa ukuran keseluruhan ekonomi hijau dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tahunan global akan meningkat hingga US$1,5 triliun. Syaratnya, masalah kesenjangan gender dalam ekonomi hijau terselesaikan. “Mendukung wirausahawan wanita dalam teknologi hijau akan menambah US$500 miliar hingga US$600 miliar ke PDB global setiap tahun pada 2030,” demikian BCG dalam laporannya.

Jumlah pekerjaan di bidang teknis yang masih didominasi kaum laki-laki

Editorial Team