Jakarta, FORTUNE - Posisi Indonesia pada kancah perdagangan global kian terjepit setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, melontarkan ancaman tarif baru yang menyasar langsung negara-negara anggota BRICS. Ancaman ini menjadi tekanan berlapis bagi Jakarta, yang saat ini juga tengah bernegosiasi alot menghindari pengenaan tarif resiprokal sebesar 32 persen.
Melalui platform Truth Social pada Senin (7/7) waktu setempat, Trump secara tegas menyatakan akan memberlakukan pungutan tambahan bagi negara yang bersekutu dengan blok ekonomi tersebut.
"Negara mana pun yang menyelaraskan diri dengan kebijakan organisasi Anti-Amerika, BRICS, akan dikenakan tarif tambahan 10 persen. Tidak akan ada pengecualian terhadap kebijakan ini," demikian pernyataan Trump.
Ancaman ini dilontarkan bertepatan dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 di Rio de Janeiro, Brasil. Forum tersebut dihadiri Prabowo Subianto, menandai keikutsertaan perdana Indonesia sebagai anggota resmi.
Pada Minggu (6/7), Prabowo bahkan disambut langsung oleh Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, selaku tuan rumah.
Tekanan ini menjadi beban ganda bagi Indonesia. Sebab, ancaman tarif 10 persen ini datang tepat ketika pemerintah masih berupaya melobi Amerika Serikat (AS) membatalkan rencana penerapan tarif resiprokal 32 persen yang dijadwalkan berlaku mulai 9 Juli 2025.
Pemerintah AS sebelumnya menuding Indonesia menerapkan sejumlah hambatan perdagangan, mulai dari tarif yang tidak timbal balik, kewajiban tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), sistem perizinan impor yang rumit, hingga aturan devisa hasil ekspor (DHE).
Demi meredam ancaman tersebut, pemerintah telah mengajukan tujuh proposal penawaran kepada AS dalam pertemuan di Jakarta awal Juli lalu. Penawaran itu mencakup komitmen menghapus tarif berbagai produk AS—mulai dari teknologi, alat medis, hingga minuman beralkohol—serta janji untuk meningkatkan volume impor minyak mentah, pesawat, dan alutsista dari negeri Paman Sam.
Hingga kini, belum ada kepastian mengenai respons AS terhadap proposal Indonesia. Situasi ini kontras dengan Vietnam, yang telah berhasil mengamankan kesepakatan.
Produk ekspor Vietnam hanya akan dikenai tarif 20 persen, meski barang yang dicurigai sebagai hasil transshipment dari Cina akan dikenai tarif lebih tinggi, yakni 40 persen. Nasib negosiasi Indonesia pun kini berada di ujung tanduk.