Jakarta, FORTUNE — Gelombang demonstrasi besar-besaran sejak akhir Agustus 2025 yang dipicu kemarahan publik atas fasilitas dan tunjangan DPR, membuka ruang perdebatan serius tentang keadilan sosial dan arah pembangunan nasional. Merujuk data BPS per Maret 2025, dengan angka kemiskinan ekstrem masih 0,85 persen atau 2,38 juta jiwa, serta 24 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan , para ekonom menilai tuntutan rakyat yang terhimpun dalam 17+8 perlu dibaca ulang melalui kacamata ekonomi syariah. Instrumen ekonomi syariah seperti zakat, wakaf, hingga sukuk sosial dinilai penting untuk merespons krisis kepercayaan sekaligus mempersempit jurang ketimpangan.
Kepala Center for Sharia Economic Development (CSED) Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), Nur Hidayah, menegaskan bahwa gelombang protes akhir Agustus merupakan momentum reflektif.
“Demo akhir Agustus 2025 dengan tuntutan 17+8 adalah momentum sosial yang memaksa kita membaca ulang desain pembangunan nasional. Dari jalanan simbol keresahan rakyat, kita bergerak ke kebijakan yang solutif,” ujarnya, dalam diskusi publik bertema “Demo Cermin Kesenjangan, Ekonomi Syariah Memberi Jawaban” yang digelar CSED INDEF di Jakarta, Rabu (10/9).
Ia menambahkan, isu kenaikan fasilitas DPR, disparitas ekonomi, serta lonjakan harga pangan harus dilihat sebagai tanda perlunya pendekatan baru.
“Dalam merespons keresahan ini, ekonomi syariah muncul bukan sebatas jargon, melainkan sebagai tawaran desain ulang sistem ekonomi demi keadilan sosial,” kata Nur.