TECH

Mulai April Thailand Resmi Larang Transaksi Barang-Jasa Pakai Kripto

Nilai perdagangan aset digital di Thailand melonjak.

Mulai April Thailand Resmi Larang Transaksi Barang-Jasa Pakai KriptoIlustrasi aset kripto. Shutterstock/Pedrosek
24 March 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Pemerintah Thailand resmi melarang penggunaan aset kripto untuk transaksi barang dan jasa. Alasannya, aset digital tersebut dikhawatirkan berisiko bagi sistem ekonomi dan bisnis.

Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) Thailand, Rabu (23/3), menyatakan larangan tersebut akan berlaku April ini. 

Para operator bisnis—termasuk platform pertukaran kripto—tidak boleh menyediakan fasilitas pembayaran kripto. Mereka juga diminta tidak mempromosikan penggunaan aset digital untuk transaksi barang dan jasa. Tak hanya itu, bank-bank komersial juga dilarang terlibat dalam perdagangan kripto.

“Pembayaran kripto dapat memengaruhi stabilitas sistem keuangan dan sistem ekonomi secara keseluruhan termasuk risiko bagi orang dan bisnis,” begitu bunyi studi SEC dan bank sentral Thailand sebagai pertimbangan kebijakan, seperti dikutip dari Coin Telegraph, Kamis (24/3). SEC menyoroti sejumlah risiko terkait aset kripto seperti nilai yang hilang akibat volatilitas harga, pencurian di jagat maya, pencucian uang, dan kebocoran data pribadi.

Bagi bisnis yang tidak mematuhi aturan baru tersebut, akan dikenai tindakan hukum termasuk penangguhan sementara atau pembatalan layanan.

Meski demikian, kebijakan terbaru Thailand tersebut takkan berdampak terhadap perdagangan atau investasi aset kripto.

Tindakan keras Thailand terhadap aset digital datang ketika investor—terutama yang muda—meningkatkan investasi mereka pada kripto untuk mencari imbal hasil lebih baik di tengah perlambatan ekonomi, menurut Bangkok Post.

Saat ini, nilai aset digital warga Thailand telah mencapai 114,5 miliar baht atau setara Rp48,88 triliun, naik dari 9,6 miliar baht beberapa tahun lalu. Jumlah akun pada perdagangan kripto pun melonjak menjadi 1,98 juta akun dari hanya 170 ribu sebelum pandemi.

Kebijakan aset kripto di sejumlah negara

ilustrasi : mata uang kripto
Shutterstock/Wit Olszewski

Langkah pemerintah Thailand serupa dengan Indonesia. Bank Indonesia (BI) menegaskan hingga saat ini kripto tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Dengan begitu, aset digital tersebut haram digunakan untuk transaksi pembayaran barang dan jasa.

Namun, aset kripto dapat menjadi komoditas perdagangan atau investasi melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Multimedia Malaysia baru saja menyerukan kepada pemerintah untuk mengadopsi aset kripto sebagai alat pembayaran yang sah. Mereka juga mendeak pemerintah untuk melegalkan pengunaan aset yang tidak dapat dipertukarkan non-fungible token/NFT.

Namun, Menteri Keuangan Malaysia, Abdul Aziz, sempat mengatakan bahwa pembayaran dengan aset kripto—seperti Bitcoin dan Ethereum—dianggap ilegal lantaran tidak memenuhi karakteristik universal sebagai uang. Sebab, aset digital rentan terhadap fluktuasi harga, investasi spekulatif, dan risiko serangan siber.

Sejauh ini hanya El Salvador yang menetapkan Bitcoin sebagai alat pembayaran sah.

Sejumlah negara juga telah menyampaikan rencana untuk melegalkan aset kripto. Honduras, misalnya, bersiap mengadopsi Bitcoin sebagai alat pembayaran sah. Sementara itu, pemerintah Ukraina, Rabu (16/3) mengesahkan undang-undang yang menjadi kerangka hukum bagi perdagangan aset digital.

Related Topics