TECH

Survei Visa: 64% Warga Asean Tertarik Kripto Sebagai Alat Pembayaran

Indonesia masih melarang kripto sebagai alat pembayaran sah.

Survei Visa: 64% Warga Asean Tertarik Kripto Sebagai Alat PembayaranIlustrasi Visa Contactless/Shutterstock Alexandru Nika
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Survei terbaru Visa mengungkapkan soal minat warga Asia Tenggara terhadap aset kripto, mulai dari urusan alat pembayaran sampai instrumen investasi. Perusahaan jasa keuangan dari Amerika Serikat itu menyebut aset kripto memiliki sejumlah keunggulan sehingga dilirik oleh konsumen kawasan ini.  

Dalam penelitian bertajuk Consumer Payment Attitudes Study 2022, Visa menemukan penggunaan metode pembayaran digital telah meningkat dalam setahun terakhir karena pandemi virus corona. Preferensi pembayaran nirtunai pun disebut terus tumbuh di kalangan bisnis dan konsumen.

Menurut laporan yang dirilis pada Juli ini, lebih dari 50 persen dari total populasi konsumen Asia Tenggara menyatakan telah beralih ke pembayaran daring. Pada kategori tersebut, Indonesia memimpin dengan persentase 68 persen, diikuti Filipina 66 persen, dan Malaysia 60 persen.

Visa lantas menyebut, dari pelbagai opsi pembayaran nirtunai, sebagian besar penduduk Asia Tenggara menyatakan ketertarikannya untuk menggunakan aset kripto sebagai alat transaksi. Sebanyak 64 persen konsumen menunjukkan minat tersebut, dengan Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Thailand menjadi pemimpin dalam tren ini.

“Konsumen yang tertarik terpikat oleh kenyamanan penggunaan, kebaruan metode pembayaran, serta potensi insentif dan penghargaan,” demikian laporan tersebut, seperti dikutip dari laman crypto.news. Sebagai catatan, jajak pendapat Visa ini melibatkan 6.520 responden di sejumlah negara Asia Tenggara, Agustus sampai September 2021.

Sebagai konteks, aset kripto di Indonesia saat ini masih haram sebagai alat pembayaran, sesuai peraturan Bank Indonesia (BI). Sementara, Badan Pengawas dan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menetapkan aset kripto sebagai alat investasi, atau komoditi yang diperdagangkan di bursa berjangka.

Investasi aset kripto

Ilustrasi investasi kripto. Shutterstock/The Kong

Laporan Visa turut mencatat sebagian besar responden, terutama dari Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Thailand, menunjukkan minat terhadap investasi aset kripto. Sebanyak 92 persen responden penelitian telah memiliki pengetahuan mengenai Bitcoin dan aset kripto lainnya.

Namun, hanya 22 persen konsumen Asia Tenggara yang telah menanamkan modalnya di aset kripto. Meski demikian, 54 persen responden menyampaikan rencananya untuk berinvestasi di instrumen tersebut di masa depan. Sebagian besar konsumen yang tertarik dengan aset kripto ini berasal dari Filipina (70 persen), Thailand (69 persen), dan Vietnam (69 persen).

Menurut survei sama, 59 persen masyarakat Asean terbuka untuk menggunakan kartu kredit atau debit untuk investasi kripto. Sebanyak 64 responden bahkan menyampaikan minatnya untuk menerima imbalan kartu kredit atau debit dalam bentuk aset kripto, karena mereka melihat kripto sebagai aset yang nyata.

Terlepas dari karakternya yang fluktuatif, popularitas aset kripto dianggap telah meningkat secara global. Situasi ini juga terjadi di tengah prospek pasar yang cukup suram, karena harga aset kripto yang melorot. Dikutip dari coinmarketcap.com, saat ini kapitalisasi pasar aset kripto hanya mencapai US$915 miliar, atau turun dari US$2,1 triliun pada awal tahun ini.

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Perdagangan Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo), Teguh Kurniawan Harmanda, berpendapat meski pasar aset kripto terkoreksi, minat investor masih ada. Sebab, hingga detik ini jumlahnya masih bertumbuh.

Menurut data dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), terjadi penambahan hampir 3 juta investor kripto pada Desember 2021 sampai Mei 2022. Dengan begitu, total investor aset investasi tersebut mencapai 14,1 juta orang dari sebelumnya 11,2 juta