Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Perusahaan tekstil terbesar di Indonesia
ilustrasi industri tekstil (unsplash/rio lecatempessy)

Intinya sih...

  • API menilai pengenaan BMAD terhadap impor produk POY dan DTY bisa berdampak negatif terhadap industri TPT nasional.

  • BMAD pada produk bahan baku strategis seperti POY dan DTY dapat menyebabkan kenaikan harga bahan baku, penurunan kapasitas produksi, dan melemahnya daya saing produk tekstil Indonesia.

  • API mengusulkan perlindungan melalui BMAD diterapkan pada produk hilir.

Jakarta, FORTUNE -Usulan pengenaan Bea Masuk Antidumping (BMAD) terhadap impor bahan baku benang strategis menuai penolakan dari industri tekstil nasional. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai kebijakan tersebut kontraproduktif dan berisiko memicu efek berantai negatif yang dapat melemahkan daya saing industri tekstil dan produk tekstil (TPT) pada sektor hilir.

Menurut API, pengenaan BMAD pada produk polyester oriented yarn (POY) dan draw textured yarn (DTY) akan berdampak langsung pada kenaikan biaya produksi. Kedua jenis benang ini merupakan bahan baku vital yang digunakan secara luas oleh industri TPT, khususnya pada sektor hilir yang padat karya seperti konveksi dan produsen kain.

Ketua Umum API, Jemmy Kartiwa, memperingatkan kenaikan harga bahan baku akan memukul operasionalisasi banyak perusahaan dan mengancam serapan tenaga kerja.

“Kami memahami semangat perlindungan terhadap industri bahan baku dalam negeri. Namun, jika kebijakan tersebut justru menambah beban biaya untuk akses bahan baku, maka dampaknya bisa kontraproduktif, terutama bagi sektor hilir yang menopang ekspor dan menyerap banyak tenaga kerja,” kata Jemmy dalam keterangannya, Senin (16/6).

Ia menambahkan, industri TPT sangat sensitif terhadap perubahan harga. Jika biaya naik karena BMAD, banyak produsen tekstil menengah-kecil akan kesulitan mempertahankan operasionalisasinya, yang pada akhirnya dapat menurunkan kapasitas produksi nasional.

API menegaskan pihaknya tidak menolak instrumen perlindungan perdagangan seperti BMAD, tapi penerapannya harus tepat sasaran. Alih-alih menyasar bahan baku, API mengusulkan dua solusi alternatif yang dinilai lebih efektif.

Pertama, jika mekanisme BMAD diperlukan, sebaiknya diterapkan pada produk hilir seperti pakaian jadi atau tekstil rumah tangga. Produk-produk inilah yang lebih rentan terhadap praktik dumping dan kelebihan pasokan dari negara pengekspor besar.

Kedua, untuk melindungi sektor hulu (produsen benang dan serat), API mendorong pendekatan berbasis insentif, bukan hambatan tarif. Beberapa skema yang dianggap lebih efektif antara lain: pemberian fasilitas fiskal dan non-fiskal untuk peningkatan efisiensi, serta insentif investasi untuk restrukturisasi mesin produksi.

“Kami mendorong solusi yang lebih sistemik dan berbasis kolaborasi. Jangan sampai kebijakan proteksi justru menimbulkan ketidakseimbangan dalam rantai pasok,” ujar Jemmy.

Mengingat dampaknya yang luas, API menyerukan agar pemerintah tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Sebelum kebijakan BMAD resmi diberlakukan, asosiasi mendesak pemerintah untuk membuka ruang dialog yang inklusif.

Dialog ini diharapkan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam rantai pasok TPT, mulai dari industri hulu, antara, hingga hilir, termasuk asosiasi, akademisi, dan pelaku usaha kecil-menengah (UKM).

“Semua kepentingan perlu dipertimbangkan secara proporsional. Keputusan yang berdampak luas harus diambil secara inklusif agar menghasilkan solusi yang adil dan berkelanjutan,” kata Jemmy.

Editorial Team