BUSINESS

Asosiasi Minta Pemerintah Lindungi Petani Sawit Lewat UU Cipta Kerja

Aparat penegak hukum masih bertindak di luar regulasi.

Asosiasi Minta Pemerintah Lindungi Petani Sawit Lewat UU Cipta KerjaKetua Umum DPP APKASINDO, Gulat Manurung, dalam konferensi pers bersama media, Kamis (30/12). (FORTUNEIDN)
31 December 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta pemerintah lebih memperhatikan nasib petani sawit. Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dinilai belum terimplentasi dengan baik dan menunjukkan keberpihakan serta keadilan terhadap pekerja di sektor ini. 

Hal ini berhubungan dengan penyelesaian konflik hutan sawit dan penegakan regulasi oleh aparat hukum. Legatitas lahan sawit merupakan hal mendasar yang menjadi faktor penting bagi petani maupun kebutuhan investasi. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Rino Afrino, menyampaikan bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.23/2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan PP No.24/2021 tentang Pengenaan Sanksi Administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Penyelenggaraan Kehutanan, kelapa sawit yang ditanam sebelum berlakunya UU Cipta Kerja tidak ada pidana. Dalam hal ini berlaku Ultimum Remedium atau mengedepankan sanksi administratif.

“Namun di lapangan, ternyata aparat penegak hukum masih banyak melakukan pemanggilan dan sidang di pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi, dan menyatakan bahwa petani sawit dalam kawasan adalah ilegal. Dan lahan petani tersebut harus dicabut, ditumbangkan, dan para petani diusir,” kata Rino dalam konferensi pers Apkasindo, Kamis (30/12).

Padahal, menurut Rino, UU ini sudah mengatur solusi bagi perkebunan kelapa sawit yang terlanjur diklaim sebagai kawasan hutan, melalui 4 tipologi resolusi. Oleh karena itu, persoalan ini akan terus dikritisi Apkasindo kepada pemerintah sebagai regulator.

Pengawalan UU Cipta Kerja

Rino mengatakan, salah satu fokus Apkasindo pada 2022 ialah melakukan pengawalan terhadap penerapan UU Cipta Kerja.  Hal ini dilakukan agar para petani tidak lagi menjadi sasaran penegakkan hukum yang tidak sesuai regulasi.

“Supaya tidak lagi dipanggil-panggil oleh aparat penegak hukum dan segera mendapatkan persetujuan terkait peremajaan sawit rakyat (PSR),” katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung, menegaskan bahwa ketidaksesuaian tindakan aparat penegak hukum telah melukai para petani sawit Indonesia. “Petani kami menjadi korban,” kata Gulat. “Sawitnya di dalam hutan, tertanam sebelum November 2020, tapi tetap digugat. Lebih mengerikan lagi, sawit mereka akan dicabut dan diganti dengan tanaman kehutanan.”

Gulat mempertanyakan tentang fungsi UU Cipta Kerja yang telah memberikan solusi. “Oleh karena itu, tugas kami (Apkasindo) di 2022 adalah merangkul dan menyampaikan kepada pihak yang berwenang–aparat penegak hukum–tentang padu serasi UUCK tentang tanaman sawit di kawasan hutan,” katanya.

4 Tipologi penyelesaian tanaman sawit di kawasan hutan

Untuk mengurai persoalan lahan sawit, UU Cipta Kerja telah memiliki 4 tipologi tanaman sawit yang berada di kawasan hutan. Pertama, pekebun yang berada di kawasan hutan tapi memiliki STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya) maka dapat diselesaikan (dikeluarkan dari Kawasan hutan) melalui mekanisme Pasal 110A setelah membayar biaya PSDH-DR (Provisi Sumber Daya Hutan-Dana Reboisasi).

Kedua, pekebun yang dalam kawasan hutan tapi tidak memiliki STDB, maka dia wajib membayar denda administrasi sebagaimana ketentuan Pasal 110B, kemudian setelah denda tersebut dibayar, pemerintah memberikan izin untuk melanjutkan kegiatan perkebunan di Kawasan hutan produksi selama 1 (daur) atau 20 tahun. Hal ini tidak berlaku bagi kebun yang berada di Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Konservasi.

Ketiga, ditujukan bagi pekebun yang punya kebun paling banyak 5 hektare dan bertempat tinggal terus-menerus di dalam atau sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun. Apabila kebun sawitnya berada di Hutan Produksi dan sudah dikuasai lebih dari 20 tahun, maka areal tersebut dikeluarkan dari Kawasan hutan.

Keempat, bagi pekebun yang sudah memiliki sertifikat Hak Atas Tanah namun diklaim dalam Kawasan hutan, maka permasalahan diselesaikan dengan mengeluarkan bidang tanah dari kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.

Related Topics