Jakarta, FORTUNE – Kinerja industri tekstil nasional masih tertahan pada zona kontraksi, berbanding terbalik dengan sebagian besar subsektor manufaktur yang tengah berekspansi. Berdasarkan data Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Oktober 2025, sektor tekstil menjadi satu-satunya subsektor yang belum menunjukkan tanda pemulihan.
Rizky Aditya Wijaya, Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki (ITKAK) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), menyatakan pelemahan kinerja industri tekstil disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, mulai dari kenaikan harga jual hingga tekanan eksternal akibat pelemahan ekonomi global.
Kondisi ini membuat daya saing industri tekstil domestik semakin tertekan.
“Yang pertama adalah kenaikan harga jual produk, yang membuat pesanan dari pasar domestik, ritel, dan grup menurun. Kedua, adanya kenaikan biaya bahan baku karena pelemahan nilai tukar rupiah di bulan Oktober yang cukup signifikan,” kata Rizky dalam konferensi pers IKI disiarkan secara virtual, Kamis (30/10).
IKI Oktober 2025 naik ke level 53,50, meningkat dibandingkan dengan 53,02 pada September 2025. Ini didorong oleh 22 subsektor industri yang berada dalam status ekspansif, terutama pada industri pengolahan tembakau dan kertas.
Selain itu, kata dia, penurunan ekspor akibat dinamika ekonomi global turut memberi tekanan terhadap kinerja sektor ini.
“Ekonomi global sedang mengalami tantangan, dan kondisi di negara-negara tujuan ekspor tekstil kita ikut melemah, sehingga berdampak pada permintaan luar negeri,” ujarnya.
Faktor keempat yang turut berpengaruh adalah aspek musiman. Rizky mengatakan siklus permintaan tekstil biasanya turun menjelang akhir tahun karena pergeseran tren fashion.
“Antara proses penyediaan bahan baku hingga menjadi produk akhir itu butuh waktu 3–6 bulan. Nah, bulan Oktober itu sudah mendekati pergantian tahun, jadi memang secara alami siklusnya menurun,” katanya.
