BUSINESS

Perkuat Permodalan, BNI Terbitkan Obligasi Perpetual Rp8,7 triliun

Rasio kecukupan modal BNI berada di bawah industri.

Perkuat Permodalan, BNI Terbitkan Obligasi Perpetual Rp8,7 triliunShutterstock/Cahyadi Sugi
20 September 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk terlihat tengah berupaya memperkuat permodalan di tengah kondisi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sejumlah langkah strategis tengah disiapkan oleh bank pelat merah tersebut, termasuk rencana merilis obligasi atau surat utang perpetual.

Berdasarkan keterbukaan informasi yang disampaikan via Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat (17/9), BNI menyatakan telah menyelesaikan roadshow, penawaran, dan penetapan harga terkait rencana penerbitan obligasi perpetual senilai US$600 juta atau sekitar Rp8,7 triliun. BNI melalui obligasi ini akan menawarkan tingkat suku bunga sebesar 4,3 persen per tahun berdasarkan ketentuan Regulation S (Reg S), Securities Act Amerika Serikat, yang akan terdaftar di Bursa Efek Singapura atau SGX.

Menurut pihak BNI, penerbitan obligasi itu sebagai wujud instrumen penambahan modal inti bank sesuai aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sehubungan dengan rencana tersebut, perusahaan telah menandatangani Perjanjian Pembelian Efek (Subscription Agreement) pada Kamis (16/9).

“Dana hasil rencana penerbitan Efek Modal Tier 1 akan digunakan untuk menambah modal inti tambahan bank, secara umum untuk penguatan modal, meningkatkan pembiayaan serta untuk memperkuat komposisi struktur dana jangka panjang,” kata Sekretaris Perusahaan BNI, Mucharom, dalam keterangan tertulis.

Obligasi yang akan dijual tersebut merupakan instrumen utang yang memiliki karakteristik modal, bersifat subordinasi, dan tidak memiliki jangka waktu. Pembayaran distribusinya (imbal hasil) tidak dapat diakumulasikan (perpetual non-cumulative subordinated debt). Efek modal ini tidak ditawarkan atau dijual di Indonesia atau kepada investor Indonesia baik individu, institusi, maupun bentuk hukum lainnya.

Permodalan Di Bawah Industri

Dalam rapat kerja bersama DPR Juli lalu, Wakil Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kartika Wirjoatmodjo, mengatakan kementeriannya tengah menyiapkan sejumlah upaya untuk memperkuat permodalan BNI. Pasalnya, menurut Kartiko, bank dimaksud tengah mengalami tekanan dengan posisi rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) Tier 1 yang hanya berada pada kisaran 16 persen.

Salah satu rencana penguatan modal itu termasuk rencana penerbitan obligasi. Tak cukup dengan itu, tambah pria yang akrab disapa Tiko ini, kementeriannya juga mengusulkan agar BNI dapat disuntik penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp7 triliun.

Dengan sejumlah upaya itu, diharapkan rasio permodalan BNI bisa meningkat. Rasio CAR ini merupakan salah satu indikator penting yang menunjukkan besarnya bantalan modal sebuah bank. Semakin besar rasio CAR menunjukkan bank semakin punya daya tahan menghadapi risiko kerugian.

Berdasarkan laporan keuangan terakhir perusahaan per Juni, rasio CAR perusahaan dengan kode emiten BBNI ini tercatat hanya 18,2 persen, jauh di bawah CAR bank umum sebesar 24,3 persen. Persoalannya, kondisi CAR BNI yang di bawah industri ini sudah terjadi setidaknya selama lima tahun terakhir.

Pada 2016-2020, rata-rata CAR BNI 18,6 persen. Sedangkan, CAR bank umum mencapai 23,3 persen.

Direktur Utama BNI, Royke Tumilar, mengatakan rasio CAR BNI relatif rendah jika dibandingkan dengan anggota bank umum kegiatan usaha (Buku) IV lainnya, di antaranya: PT Bank Mandiri (Persero) Tbk 18,9 persen, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk 19 persen, dan PT Bank Central Asia Tbk 25 persen, Dia menambahkan, modal inti atau tier 1 BNI sebesar 15,99 persen juga jauh di bawah Buku IV, antara lain: Bank Mandiri 17,86 persen, BRI 18,62 persen, BCA 24,35 persen.

Karena itu, kata Royke, perusahaan membutuhkan tambahan modal salah satunya melalui suntikan PMN. Dia menambahkan, suntikan modal juga diperlukan sebagai langkah antisipasi menghadapi risiko perekonomian, antara lain: ketidakpastian global, pandemi Covid-19, digitalisasi, dan kebijakan makro.

Kinerja BNI

Meski tengah berada dalam tekanan kecukupan modal, kinerja BNI selama pandemi Covid-19 terlihat stabil. Berdasarkan laporan keuangan terakhirnya, perseroan itu per Juni 2021 membukukan pertumbuhan kredit 4,5 persen secara tahunan menjadi Rp569,73 triliun. Sedangkan, kredit bank umum pada periode yang sama hanya tumbuh 0,6 persen.

Dengan pertumbuhan kredit tersebut, kemampuan BNI menggalang pendapatan bunga juga terindikasi baik, terlihat dari rasio net interest margin/NIM mereka. Rasio NIM BNI di periode yang sama tercatat mencapai 4,85 persen, sedikit di atas NIM industri sebesar 4,66 persen.

Menurut laporan sama, kinerja BNI terlihat efisien, dibuktikan dengan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). Rasio BOPO BNI saat ini ada di 81,21 persen, sedikit di bawah rata-rata bank umum 84,59 persen.

Kinerja BNI yang efisien ini boleh jadi berpengaruh pada kemampuannya menghasilkan laba berdasarkan aset. Rasio return on asset/ROA BNI tercatat mencapai 1,5 persen, naik tipis dari Juni 2020 1,4 persen. Meskipun begitu, ROE BNI masih lebih rendah dari industri yang mencapai 1,88 persen.  

Related Topics