BUSINESS

Riset: Pemasar di Asia Gagal Terapkan Nilai Berkelanjutan dalam Bisnis

Brand bisa mendorong perubahan konsumen yang berkelanjutan.

Riset: Pemasar di Asia Gagal Terapkan Nilai Berkelanjutan dalam BisnisKonsep produk rumah tangga ramah lingkungan. Shutterstock/Milleflore Images
17 January 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Praktisi pemasaran di Asia belum secara serempak menerapkan prinsip keberlanjutan dalam menjalankan bisnisnya, menurut riset terbaru dari Kantar dan Dentsu. Studi ini secara umum mengungkapkan tantangan bagi praktisi pemasaran dalam mencapai misi keberlanjutan dalam kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).

Dalam riset bertajuk "Marketing a Better Future", praktisi pemasaran dianggap gagal menangkap peluang berkelanjutan. Buktinya, hanya 34 persen tim pemasaran dengan wawasan yang melaksanakan rencana keberlanjutan dan mengukur kemajuan bisnisnya.

Padahal, isu iklim merupakan masalah utama. Hal ini dibuktikan dengan 60 persen konsumen global yang menyatakan cemas terhadap kondisi lingkungan. Hal tersebut diperkirakan mendorong inisiasi serta keinginan untuk bertindak.

Laporan tersebut juga menyoroti ihwal perubahan sistem yang diperlukan untuk mencapai target keberlanjutan global dan memastikan masa depan bumi. Praktisi pemasaran—yang menjadi penghubung antara brand dan konsumen—bertanggung jawab untuk menjadi agen perubahan generasi yang berpengaruh pada perilaku konsumen, serta mendorong inovasi yang akan diinformasikan kepada pelanggan. 

Studi Kantar dan Dentsu ini dilandasi oleh analisis data dan wawancara terhadap praktisi pemasaran berpengalaman dan pemimpin perusahaan. Riset tersebut dilakukan pada 12 wilayah Asia Pasifik meliputi Australia, Cina, Hong Kong, India, Indonesia, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Taiwan, Thailand, Filipina, dan Vietnam.

Dari hasil tersebut, ditemukan fakta bahwa Indonesia memiliki 3 masalah iklim utama yakni kemiskinan & kelaparan, penggundulan hutan, dan polusi air.

Ketimpangan niat dan aksi

Berdasarkan hasil studi, terdapat dua perkara dalam mewujudkan praktik pembangunan berkelanjutan, yakni kesenjangan antara niat dengan aksi dalam organisasi dan oleh konsumen. Masing-masing persoalan tersebut menjadi tantangan bagi praktisi pemasaran. Hanya 17 persen konsumen Asia aktif mengubah perilakunya menjadi lebih berkelanjutan. Padahal, 98 persen orang Asia mengatakan akan melakukannya.

Studi itu juga menemukan bahwa meski 73 persen pemasar percaya bahwa keberlanjutan penting untuk kelangsungan bisnis dan pertumbuhan nilai, terdapat hambatan taktis dan mendasar yang menghalangi pemasar untuk mengambil kepemimpinan berkelanjutan.

Di antara berbagai hambatan tersebut adalah masalah target pertumbuhan penjualan yang bersifat jangka pendek, kurangnya kejelasan dalam fungsi pemasaran seputar metrik keberhasilan dalam kaitannya dengan tujuan keberlanjutan, dan mininmnya sumber daya yang memadai atau pengembangan kemampuan untuk keberlanjutan dalam fungsi pemasaran.

“Inisiatif keberlanjutan oleh brand perlu menjawab kebutuhan konsumen dan kebutuhan bumi secara holistik dan bersamaan. Ini berarti pola pikir yang benar-benar baru bagi praktisi pemasaran dan pemimpin perusahaan,” kata Head, Sustainability Practice, Kantar APAC, Trezelene Chan, dalam rilis resmi kepada media, dikutip Selasa (17/1).

Perubahan filosofis pemasaran

Studi sama menyebutkan, demi mencapai kemajuan dalam urusan keberlanjutan, fungsi pemasaran memerlukan perubahan filosofis, yakni mendorong inovasi di luar target penjualan jangka pendek. Hal tersebut demi menciptakan pertumbuhan yang baik bagi masyarakat, bumi, serta bisnis.

“Transformasi keberlanjutan perusahaan dan konsumsi berkelanjutan perlu menjadi prinsip untuk  mengorganisir fungsi pemasaran,” katanya. Laporan itu menaksir brand akan dapat mendorong perubahan perilaku dan gaya hidup untuk mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca pada 40–70 persen.

Chief Growth Officer, dentsu Asia Pacific, Dominic Powers, menyatakan kemajuan yang bermakna dalam tujuan keberlanjutan membutuhkan upaya kolaborasi antara bisnis, konsumen masyarakat sipil, pembuat kebijakan, regulator, dan penyedia modal bekerja secara harmonis.

“Di dentsu, kami merancang 'What’s Next' sebagai salah satu misi untuk tujuan konsumsi berkelanjutan. Di mana, hal ini harus diorganisir oleh para praktisi pemasaran untuk memberikan dampak kepada masyarakat luas mengenai kehidupan berkelanjutan. Demi merealisasikannya, brand dan pemasar harus merangkai taktik termasuk mitra ekosistem yang menangani rantai aktivitas dan jejak karbon,” ujarnya.

Related Topics