Bos Olympic Au Bintoro: Dari Kalung Istri Jadi Raja Mebel

Jakarta, FORTUNE - Sudah lebih dari empat dekade Au Bintoro malang-melintang dalam industri mebel. Tangan dinginnya membawa Olympic Group sebagai pemimpin pasar domestik. Bagi Au, Olympic Furniture bukan sekadar merek, tetapi juga jejak perjalanan panjang dan sumber inspirasi. Namun, semula pria kelahiran Riau itu tidak pernah bermimpi menjadi raja mebel karena masa kecilnya justru lekat dengan dunia musik dan sound system. Seperti banyak pebisnis, Au Bintoro, yang percaya bahwa sukses tiada artinya tanpa kesehatan, sejak dini telah mafhum dengan gemblengan hidup.
“Saya pindah ke Bogor saat umur sembilan tahun. Dulu di Riau enggak ada sekolah, jadi saya ikut paman untuk masuk SD [Tionghoa],” ujarnya kepada Fortune Indonesia (12/2/2024).
Peristiwa goro-goro 1965 menghentikan semangatnya belajar. Dia masih kelas tiga ketika Indonesia mengalami fase kelam itu, dan harus berhenti bersekolah karena banyak sekolah Tionghoa terpaksa ditutup. Au sempat lanjut bersekolah, tapi tinggal kelas. “Lalu [saya] masuk di sekolah swasta di Bogor. Lanjut coba masuk SMP sampai lulus, walau awalnya terkendala enggak ada ijazah karena terbakar pada krisis tahun ‘65,” katanya.
Putus sekolah tidak membuatnya putus harapan. Pada usia 18, dia mulai bekerja di kios sepatu milik pamannya. Ketika senggang, dia memancing adrenaline. Gairah meletup-letup sebagai remaja dia larikan ke balap motor. Sialnya, sebuah kecelakaan merenggut kesenangannya itu pada waktu usianya 21. Kakinya patah tiga. Dia terpaksa menghabiskan hari-harinya di kursi roda. "Sempat masuk rumah sakit selama dua tahun," ujarnya.
Namun, rupanya, efek kecelakaan itu pula yang memberinya titik balik. Proses pemulihan berkepanjangan, beriring naik-turunnya kondisi fisik, memicunya untuk berpikir keras tentang cara mencari peluang untuk mendapatkan uang. Terlebih, rencana pernikahan sudah di depan mata. Pertanyaan yang terus berputar-putar di kepalanya cuma satu: "Istri mau dikasih makan apa?"
Selagi masih payah, Au menengok ke pendidikan non-formal. Dia mengambil kursus memperbaiki radio dan TV selama tiga bulan. Dia pikir, itu jalan masuk akal. “Sekalipun duduk di kursi roda, toh masih bisa melakukan servis terhadap TV maupun radio pada saat itu. Berjalannya waktu, berangsur-angsur membaik. Karena hobi saya di sound system, akhirnya jadilah bikin loud speaker,” katanya.
Berkah kalung istri
Dia memulai bisnis produksi pengeras suara itu pada 1975 ketika usianya 23. Statusnya saat itu telah menikahi Tan Wellih. Modal justru dia dapatkan setelah memiliki istri. “Setelah nikah itu, saya ambil kalung istri saya. Saya jual dapat Rp350.000. [Saya buat beli] 10 lembar triplek, dan sisanya buat yang lain,” ujarnya.
Dia menjadikan teras rumahnya sebagai bengkel kerja. Proses produksi dibantu dua orang. Karena pengeras suara buatannya laris manis, dia lantas butuh lokasi produksi lebih luas. Au lantas pindah ke garasi pamannya, dan belakangan meminjam lahan pabrik. “Speaker saya naikin ke bemo buat dijual ke Pasar Anyar [Bogor]. Saya juga bawa ke Glodok [Jakarta],” katanya.
Dua tahun berselang, bisnisnya kian berkembang. Au sanggup membeli tanah seluas 3.000 m2 di Kedunghalang, Bogor, dan membangun pabrik seluas 1.000 m2 lebih untuk memproduksi loud speaker dengan mesin. Bisnis tersebut berlangsung hingga 1982. Namun, dia memandang cakupan bisnisnya kian kecil. Hingga pada suatu sore, sebuah ide brilian muncul saat dia melihat muatan Mitsubishi L300 yang melintas di depan pabrik.
“Saya lagi ngelamun. Ada truk bawa lemari dari kayu jati. Ada meja juga. Mana berat, harganya pasti mahal, dan sulit dikirim ke mana-mana. Apalagi Indonesia negara kepulauan. Akhirnya saya pikirkan bagaimana supaya bisa [bikin mebel yang bisa] dibongkar-pasang, masuk ke dalam dus. Di situlah mulainya,” ujarnya.
Au menerjemahkan gagasannya dengan menciptakan produk lebih ringkas yang bisa dibongkar-pasang. Dengan bahan particle board berlapis foil, dia membuat meja makan. Dia menyiapkan sendiri desainnya. Material didatangkan dari Sukabumi, Jawa Barat. Setelah cukup puas dengan hasilnya, ia membuat meja belajar. Dengan target anak sekolah di Bogor dan sekitarnya serta Jakarta, dia mulai memasarkan meja belajar itu dengan metode promosi unik.
“Kalau enggak naik kelas, barangnya bisa dikembalikan [demi] diganti dengan yang baru. Tapi, enggak ada tuh yang ngembaliin. Dari sanalah nama Olympic mulai berkibar,” katanya.
Seiring dengan cara berproduksi yang berubah, kapasitas produksi meja belajar pun bertambah. Dia mengatakan dekade 1980-an menyaksikan fase perubahan dari carpenter ke machinery. Pada awalnya pemotongan kayu dilakukan secara manual dengan memanfaatkan tenaga manusia via gergaji tangan, lalu bergeser ke mesin.
“Begitu saya masuk di industri furnitur dengan particle board, tren juga mulai bergeser. Yang tadinya orang bikin produk dari kayu solid, bergeser ke panel furnitur. Di situlah tahun 80-an panel furnitur bahkan sampai sekarang terus berkembang, karena bahan kayu solid makin sulit didapat dan mahal,” ujarnya.
Karena popularitas meja belajarnya meningkat, dia akhirnya menutup pabrik pengeras suaranya. “Orang jam enam pagi sudah bawa mobil, antre mau beli meja belajar,” katanya. Dua tahun berselang, Au mengajak adiknya, Simarba Atong, dan kakaknya, Edi Mulyanto. Tiga bersaudara itu lalu mendirikan PT Cahaya Sakti Furintraco pada 1983 dengan komposisi pembagian modal sama besar. Saudara tertua mengurus eksternal perusahaan. Au fokus di pabrik. Adiknya kebagian urusan pemasaran—domestik dan mancanegara.
Langkah besar mereka ambil pada dasawasarsa 1990-an ketika perusahaan tersebut semakin berkembang. Mereka memutuskan untuk memecah perusahaan menjadi tiga demi bisa lebih fokus berekspansi sambil mempertahankan nilai bisnis. Simarba mendirikan perusahaan yang berfokus pada furnitur plastik knock-down bermerek Napolly, spring bed, hingga sofa. Sementara, Edy berkonsentrasi di properti. “Kalau enggak pisah bisnis, nanti anak-anak kami bisa pada ribut nih. Jadi kami pecah dulu supaya punya kerajaan masing-masing, tapi semua masih akur,” ujarnya.
Roda bisnis keluarga terus berputar hingga merambah ke sektor properti. Pada 2000-an, Au mempercayakan anak-anaknya terjun ke Olympic Furniture. Putra pertamanya, Santo Fransiscus, fokus di pemasaran dan operasional, sedangkan Filian Fransiscus pada desain produk. Ekspansi berjalan kala PT Olympic Development yang dinakhodai putrinya, Imelda Fransiska, menggarap kawasan industri (KI) di Cikembar, Sukabumi, Jawa Barat. Penggarapan KI ini merupakan bagian dari ekspansi Olympic mengembangkan bisnis properti di luar Bogor. Pabrik yang bermarkas di Kedunghalang, Bogor, lantas dikembangkan menjadi area komersial. Proses produksi direlokasi ke KI Cikembar di atas lahan seluas 600 hektare.
“Pabrik yang pindah ke Sukabumi ini diperkecil. Anak saya yang nerusin. Pabrik yang lebih besar dibuka di Surabaya, dan sekarang dipegang adik saya,” katanya.
Pantang menyerah
Au percaya keberhasilan bisnis tidak semata mesti dikaitkan ke aset atau omzet. Baginya, pabrik atau mesin mungkin memiliki nilai materi yang dapat dihitung, tapi keberlanjutan dan keberhasilan bisnisnya bergantung pada karyawan. “Aset terbaik saya dan yang paling bernilai itu adalah karyawan. Mesin bisa dibeli, tapi yang namanya karyawan sulit [karena] harus dididik dulu. Banyak yang sudah lama ikut dengan saya," katanya.
Dia pun mengenang fase pengurangan banyak karyawan pada 2008 karena pemutakhiran dan modernisasi mesin. Jumlah pesangon yang dia keluarkan saat itu mencapai Rp130 miliar. Namun, ada dari sebagian karyawan yang diberhentikan itu kembali dikontrak.
Pada 2017, dia mengantarkan salah satu perusahaannya, PT Cahayasakti Investindo Sukses Tbk (CSIS), untuk melantai di pasar modal. Perusahaan ini bergerak dalam industri furnitur yang dibuat khusus dan desain interior untuk perusahaan, tempat duduk umum, lembaga pendidikan, kafe dan restoran, rumah sakit, dan sebagainya. Perusahaan kemudian memperluas bisnisnya ke bidang konstruksi umum dengan mengembangkan hotel dan kondotel di Sentul Utara.
“Saya melihat perusahaan ini cukup baik. Akhirnya saya coba go public saat perusahaan masih belum berkembang [karena] ingin tahu go public itu kayak apa. Sekarang dengan itu, saya jadi punya pengalaman. Tahun 2022, PT Puri Sentul Permai Tbk atau KDTN juga IPO,” katanya.
Dia mengaku hari-hari ini fokusnya masih berada pada seputar memenuhi permintaan furnitur dalam negeri dan pasar ekspor. “Olympic Group ekspornya meningkat. Khususnya dari pabrik yang di Surabaya. Ekspornya lebih baik daripada yang di lokal pada 2023,” ujarnya. Produk Olympic Group dipasarkan ke sejumlah negara, seperti Australia, Jepang, negara Timur Tengah, hingga Afrika. Mulai 2019, pasar diperluas hingga ke Amerika Serikat. Targetnya setiap tahun porsi untuk pasar ekspor bisa meningkat hingga 25 persen.
Au menggambarkan, pada 2022 ke 2023 penjualan furnitur secara grup naik signifikan sekitar 30 persen. Momentum pandemi Covid-19 jadi lompatan, sebab banyak orang bekerja di rumah dan butuh mebel, selain pula permintaan dari mereka yang sedang merenovasi rumah, dan sebagainya. Momentum itu dimanfaatkan untuk tancap gas pada ranah digital. Aktivitas pemasaran digital digencarkan lewat berbagai platform seperti Instagram, Facebook, TikTok, YouTube, hingga situs web. Beragam konten juga dibuat untuk meningkatkan brand awareness, hingga mengencangkan strategi online to offline dan sebaliknya. Untuk memahami ranah digital, dia juga terjun sendiri mempelajari bagaimana konten digital dibuat untuk menggaet konsumen.
“Dari segi digital, paling tidak saya harus bisa mengedit konten. Misal, target Januari saya kuasai satu tools, nanti belajar yang lain lagi. Paling tidak tahun ini tujuan pembelajaran digital saya sudah tercapai. Saya juga kuliah lagi di Universitas Indonesia. Untuk tetap relevan secara intelektualitas, kita harus punya target,” ujarnya.
Di marketplace, sofa dan matras, menurutnya, menjadi produk paling digemari konsumen. Dan dari sisi omzet, bisnis furnitur adiknya yang paling besar mendorong pendapatan grup dengan kisaran nilai di atas Rp3 triliun. “Dari anak perusahaan juga ada. Totalnya kisaran Rp6 triliun–Rp7 triliun per tahun. [Itu] belum di propertinya. Itu secara grup keseluruhan,” katanya
Di atas itu semua, berbagai pencapaian tidak membuatnya berpuas diri. Baginya, semua prestasi takkan bisa diraih tanpa kesehatan dan performa fisik mumpuni. “Kalau fisik kita siap, fisik kita sehat, kita lebih cerdas, lebih berani mengambil keputusan, lebih semangat. Tapi kalau kita fisik kita enggak kuat, enggak bisa apa-apa. Kesehatan adalah segala-galanya,” ujarnya.
Menjalani usia senja, dia mengatakan semangatnya masih menyala. Dia terus melatih fisiknya dengan berolahraga di home gym, mengayunkan stik golf, hingga karate. Menurut Au, semua aktivitas itu ditujukan untuk memperkuat otot dan mempertahankan kepadatan tulang, sehingga terhindar dari osteoporosis. Dia juga melakukan itu untuk tetap awet muda agar dapat melihat bendera dan ruh Olympic terus berkibar, meskipun nantinya akan berganti nama. Baginya Olympic Furniture bukan sekadar merek, tetapi juga jejak perjalanan panjang dan sumber inspirasi.
"Nama Olympic lahir tahun ‘82. Saya kepusingan mencari merek. Karena waktu itu ada momen olimpiade, akhirnya saya pakai nama olimpiade saja biar mudah diingat dan dipromosikan," katanya.
Problemnya, dia mendapat teguran dari Komite Olimpiade Internasional. Nama itu harus diganti menjelang pemilihan tuan rumah Olimpiade 2030. Namun, meskipun nama ikonik itu akan hilang, ujarnya, produk dan warisan Olympic Furniture akan tetap ada dengan mengadopsi nama-nama baru, seperti Olymplast dan Prosela.
“Yang penting saya harus mempertahankan 100 tahun lagi bisnis ini akan tetap ada, [dan] saya juga akan tetap kerja. Ada keinginan punya pabrik furnitur yang di dalamnya semua serba otomatis, semua serba canggih dengan robot. Bukan untuk keuntungan, tapi untuk pembelajaran bagi industri,” ujarnya.