Jakarta, FORTUNE - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) membantah berlangsungnya praktik kartel atau kesepakatan bersama antarpelaku usaha terkait penetapan bunga dalam industri pinjaman online (pinjol) pada 2020 hingga 2023.
Sekretaris Jenderal AFPI, Ronald Tauviek Andi Kasim, menyatakan penetapan batasan suku bunga kala itu merupakan bentuk tanggung jawab industri yang dijalankan atas arahan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan hasil kesepakatan eksklusif antaranggota asosiasi.
“Yang ingin saya tegaskan di sini, tuduhan bahwa pelaku industri berkumpul dan sepakat menentukan bunga maksimum itu tidak terjadi. Kami menjalankan kebijakan tersebut karena diminta OJK [untuk menurunkan suku bunga]. Ini justru bentuk ikhtiar untuk melawan pinjol ilegal yang saat itu sangat merugikan industri,” kata dia dalam acara konferensi pers di Jakarta, Rabu (14/5).
Berdasarkan code of conduct AFPI 2018, suku bunga pinjaman online flat untuk platform legal mencapai 0,8 persen per hari. Kemudian pada 2021, persentasenya diubah menjadi 0,4 persen per hari.
Ronald menyatakan langkah penetapan batas bunga dilakukan sebagai strategi membedakan layanan pinjaman legal dari praktik ilegal yang tidak diawasi oleh otoritas. Menurutnya, citra industri fintech pembiayaan sempat tercoreng oleh praktik pinjol ilegal yang menawarkan bunga selangit dan kerap menggunakan cara-cara penagihan yang tidak manusiawi.
“Kami ini ibarat binatang yang sudah kurus-kurus di kebun binatang, sementara yang gemuk-gemuk alias pelaku ilegal malah tidak disentuh. Makanya kami dan OJK berdiskusi untuk menciptakan diferensiasi,” kata Ronald.
Karena kekosongan hukum, Ronald menekankan selama periode tersebut, bunga pinjaman tetap ditentukan secara individual oleh masing-masing platform. Penentuan bunga mempertimbangkan faktor risiko, jenis pinjaman (konsumtif, produktif, atau syariah), serta hasil kesepakatan antara pemberi pinjaman (lender) dan peminjam (borrower).