FINANCE

Begini Cara BI Gunakan Cadangan Devisa untuk Stabilisasi Rupiah

BI bisa buka ruang pelemahan rupiah terhadap dolar AS.

Begini Cara BI Gunakan Cadangan Devisa untuk Stabilisasi RupiahShutterstock/Mezario
24 October 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akibat kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS atau Fed menimbulkan kekhawatiran akan tergerusnya cadangan devisa (cadev) Indonesia. Per September lalu, misalnya, posisi cadev kembali mengalami penurunan menjadi US$130,8 miliar dari sebelumnya US$132,2 miliar pada Agustus.

Tidak hanya di Indonesia, cadev bank sentral di berbagai negara juga banyak terkikis akibat kebijakan intervensi nilai tukar. Mengutip Bloomberg, cadangan devisa bank sentral global pada akhir September telah turun US$1 triliun atau 7,8 persen menjadi US$12 triliun. Ini merupakan penurunan cadev dengan laju tercepat sejak pendataan kali pertama dilakukan pada 2003.

Lantas bagaimana kondisi cadev Indonesia saat ini, dan berapa miliar US$ lagi yang akan dikeluarkan Bank Indonesia untuk melakukan stabilisasi nilai tukar?

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Edi Susanto, mengatakan posisi cadev September lalu masih cukup memadai. Jumlahnya setara dengan pembiayaan 5,9 bulan impor atau 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. 

"Bahkan, kalau dilihat per September saja, bandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, penurunan cadangan devisa kita termasuk yg paling kecil. Sementara, pelemahan rupiah relatif lebih terbatas atau masih sama dengan pelemahan mata uang Asia lainnya," ujarnya.

Dalam operasi moneter, BI tidak mematok berapa besar cadev yang harus dikeluarkan untuk tiap sen pelemahan rupiah terhadap dolar. Sebab, pergerakan nilai tukar tersebut sangat tergantung dengan kondisi permintaan (demand) dan suplainya (supply) di pasar. 

Dus, yang menjadi perhatian BI dalam operasi moneter adalah berapa besar aliran modal yang keluar (outflow) dan masuk (inflow) di pasar keuangan.

Namun, dalam hal ini, BI juga mengutamakan mekanisme pasar. Artinya sepanjang pasokan di pasar masih tersedia, maka BI belum akan jor-joran melakukan intervensi. 

"Kami tentunya masuk pasar hanya memastikan pergerakan harga yang terbentuk jangan sampai ekstrem, kecuali kalau suplai dari market hilang atau sangat sedikit, maka tentunya kita agak lebih bold," katanya kepada Fortune Indonesia.

Pelemahan rupiah bisa ditoleransi

Hal penting lain yang juga menjadi perhatian adalah perkembangan pergerakan nilai tukar global dan regional. Artinya, jika secara global hampir semua mata uang melemah terhadap dolar AS seperti yang terjadi hingga pekan lalu, maka tidak mungkin BI melakukan intervensi melawan pergerakan global tersebut.

"Tentu kita buka ruang pelemahan mata uang, hanya yang kami jaga jangan sampai volatilitas pergerakan rupiah yang ekstrem," terangnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan cadangan devisa Indonesia sampai September 2022 memang masih relatif tinggi meski ada koreksi. Tetapi, dibandingkan dengan PDB, maka rasio cadangan devisa hanya sebesar 8,4 persen.

"Perlu didorong agar kemampuan dalam intervensi stabilitas kurs rupiah semakin baik," jelasnya.

Dampak pelemahan rupiah ke beban utang masih minim

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Luky Alfirman, mengatakan ancaman krisis serta berbagai ketidakpastian global memang membuat aliran modal masuk ke pasar keuangan dalam negeri cenderung melambat. Ini terlihat dari minat investor yang masih menunda pembelian SBN pemerintah.

Meski demikian, pemerintah masih dapat secara leluasa mengurangi pembiayaan melalui utang dengan menyesuaikan volatilitas pasar lantaran kondisi kas masih cukup tebal. 

"Kita sudah melakukan pengurangan target pembiayaan kita. Sampai akhir tahun nanti, mungkin bisa kurangi gross financing kita sampai 20 persen dan itu yang kita lakukan," katanya.

Luky juga memastikan dampak pelemahan rupiah terhadap peningkatan beban bunga utang pemerintah saat ini masih cukup rendah. Meski rupiah terus melemah hingga hari ini, depresiasi nilai tukar secara keseluruhan tahun (ytd) masih lebih rendah dibandingkan asumsi makro dalam APBN. "Masih Rp300 (lebih rendah). Artinya dampak biaya bunga tidak terlalu besar," ujarnya.

Related Topics