FINANCE

NPL Kredit yang Direstrukturisasi Bank Selama Covid-19 Mencapai 7,10%

Tingginya NPL gambarkan 'scarring effect' ekonomi.

NPL Kredit yang Direstrukturisasi Bank Selama Covid-19 Mencapai 7,10%Ketua DK OJK Mahendra Siregar saat Jalani Fit and Proper Test di DPR
31 August 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat terjadinya peningkatan non-performing loans (NPL) pada kredit yang direstrukturisasi perbankan selama pandemi Covid-19. Pada Juli 2022, rasionya mencapai 7,10 persen.

Dari sisi nominal, NPL kredit restrukturisasi Covid-19 naik dari Rp37,12 triliun pada Juni 2022, menjadi Rp39,79 triliun sebulan setelahnya. Namun, pada kurun yang sama kredit kualitas 2 turun dari Rp87,20 triliun menjadi Rp78,38 triliun. Dus, kredit kualitas rendah pada Juli 2022 juga turun menjadi Rp118,2 triliun dari sebelumnya Rp124,3 triliun pada Juni 2022.

Dalam paparan di Komisi XI DPR, Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menggolongkan peningkatan NPL itu sebagai scarring effect perekonomian akibat pandemi Covid-19.

Kabar baiknya, nilai restrukturisasi di perbankan yang pada saat puncak pandemi mencakup hampir Rp850 triliun, kini telah turun menjadi Rp560 triliun. "Ini menunjukkan bahwa hampir 40 persen dari kredit yang direstruktur tadi sudah bisa kembali sehat atau keluar dari program restrukturisasi," ujarnya di hadapan anggota Komisi XI, Rabu (31/8).

Jika dilihat berdasarkan debitur, jumlahnya yang mendapatkan restrukturisasi mencapai 2,94 juta. Padahal, pada masa puncaknya per Agustus 2020, jumlahnya mencapai 6,84 juta debitur.  "Kurang dari 3 juta debitur yang masih memerlukan program restrukturisasi tadi," katanya.

Sektor yang butuh restrukturisasi

Jika ditengok berdasarkan sektornya, kebutuhan restrukturisasi kredit hingga saat ini masih didominasi oleh akomodasi dan makanan-minuman. Mahendra menyatakan proporsinya terhadap total kredit yang direstrukturisasi perbankan mencapai 43 persen lebih per Juli 2022.

"Sedangkan satu sektor lain yang cukup mencolok tapi mulai landai adalah real estate dan sewa 17,9 persen yang pada akhir tahun lalu masih di 25 persen," ujarnya.

Mahendra mengatakan pemerintah mempertimbangkan ambang batas 20 persen dalam kebijakan restrukturisasi kredit ini untuk menentukan sektor mana saja yang memerlukan restrukturisasi. Dengan melihat kondisi saat ini, kata dia, program restrukturisasi yang masih berlangsung hingga Maret tahun depan itu sebenarnya hanya dibutuhkan oleh sektor akomodasi dan makanan minuman.

"Kalau dilihat dari threshold demikian, secara menyeluruh kecuali akomodasi dan makanan minuman, sektor lain tidak memerlukan restrukturisasi lebih lanjut karena memang tren melandai sedang terjadi. Di lain pihak, restrukturisasi itu sendiri masih berlangsung di Maret 2023," katanya.

Related Topics