BPS: September 2021 Deflasi, Daya Beli Masih Lesu
Padahal pembatasan mobilitas telah dilonggarkan.
01 October 2021
Jakarta, FORTUNE - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia kembali mengalami deflasi sepanjang September. Dipadukan dengan tingkat indeks harga konsumen (IHK) yang menurun, ini mengindikasikan terbatasnya pemulihan daya beli masyarakat.
Deflasi mencapai 0,04 persen, turun dari tren inflasi yang terjadi pada Agustus dengan torehan 0,03 persen. Deflasi ini lebih rendah dari catatan September 2020 yang mencapai 0,05 persen.
“Deflasi September ini merupakan yang kedua selama tahun 2021 setelah terjadi di bulan Juni. Pada bulan Juni terjadi deflasi sebesar 0,16 persen,” kata Kepala BPS Margo Yuwono, dalam konferensi pers secara daring, Jumat (01/10).
BPS menunjukkan pula bahwa inflasi tahun kalender (September 2021 terhadap Desember 2020) masih rendah dengan nilai 0,80 persen. Sedangkan, inflasi tahun ke tahun (year-on-year/yoy) mencapai 1,60 persen.
Komoditas penyumbang deflasi
Deflasi September banyak disumbang oleh kelompok makanan-minuman dan tembakau, yakni 0,47 persen. Penyebab lain datang dari kelompok pengeluaran informasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,01 persen.
Menurut Margo Yuwono, deflasi pada kelompok makanan-minuman merupakan dampak penurunan harga sejumlah komoditas seperti telur ayam ras (0,07 persen), cabai rawit (0,03 persen), dan bawang merah (0,03 persen).
Sementara jika dilihat berdasarkan komponennya, deflasi September dipengaruhi secara dominan oleh gejolak harga, yakni 0,88 persen. Sedangkan, komponen harga inti serta harga diatur pemerintah masih mencatatkan inflasi masing-masing sebesar 0,13 persen dan 0,14 persen.
Daya beli masih terbatas
Data BPS juga mengungkap komponen inflasi inti tahunan sepanjang September juga hanya mencapai 1,30 persen. Angka ini melambat dari inflasi inti Agustus yang mencapai 1,31 persen. Secara tahunan, inflasi inti juga lebih rendah dari posisi September 2021 yang mencapai 1,86 persen.
Menurut Kepala ekonom PT Bank Permata, Josua Pardede, perlambatan tingkat inflasi inti tersebut mengindikasikan daya beli masyarakat masih terbatas. Meskipun, lanjut dia, pemerintah saat ini sudah melonggarkan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). “Aktivitas konsumsi masyarakat terlihat masih tertahan meskipun PPKM sudah dilonggarkan oleh pemerintah,” kata Josua kepada Fortune Indonesia.
Padahal, lanjut Josua, dari sisi tingkat produksi industri saat ini juga tengah meningkat. Kondisi itu, katanya, tercermin dari nilai Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia.
Lembaga IHS Markit mencatat, PMI Manufaktur di periode yang sama kembali menembus level ekspansif atau di atas 50 yakni sebesar 52,2. Sebelumnya, pada Agustus dan Juli, kinerja industri manufaktur Indonesia disinyalir tengah tertekan dengan angka PMI yang masing-masing hanya mencapai 43,7 dan 43,1.
Josua memperkirakan, tingkat daya beli masyarakat akan naik signifikan khususnya pada akhir tahun ini. Perkiraan ini, menurutnya, sejalan dengan upaya pelonggaran pembatasan kegiatan. Tak hanya itu, tingkat konsumsi juga diharapkan tumbuh berkat pemberian sejumlah insentif dari pemerintah seperti diskon pajak penjualan barang mewah (PpnBM) untuk kendaraan bermotor baru yang berlaku hingga Desember 2021.
“Sisi permintaan masyarakat ini diharapkan bisa meningkat signifikan khususnya mendekati akhir tahun di kuartal keempat,” katanya.
Aktivitas industri menggembirakan
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengatakan peningkatan angka PMI manufaktur pada September ini sangat menggembirakan. Menurutnya, ini pertanda bahwa aktivitas ekonomi sudah pulih.
“Lagi-lagi kita mendapatkan konfirmasi bagaimana aktivitas ekonomi sudah pulih dengan sangat cepat dan ini sejalan dengan keberhasilan Indonesia menangani varian Delta selama dua sampai tiga bulan terakhir,” kata Febrio dalam taklimat media secara daring, seperti dikutip dari Antara.
Menurut Febrio, kabar kenaikan PMI ini juga dapat menjadi basis perhitungan pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga tahun ini. Dia mengatakan, Kemenkeu memproyeksikan ekonomi pada kuartal tersebut bisa tumbuh di kisaran 3,7 persen hingga 4,5 persen.
Dia menambahkan, pemerintah juga memproyeksikan konsumsi masyarakat ke depannya akan membaik dengan melihat sejumlah indikator seperti indeks keyakinan konsumen (IKK) dan indeks penjualan ritel (IPR). “Maka dari itu, angka-angka ini akan terus kami pantau ke depan,” katanya.
Related Topics
Related Articles
Most Popular