FINANCE

Imbas Sanksi Ekonomi, Perekonomian Rusia Terancam Kembali Resesi

Perekonomian Rusia pada kuartal kedua bisa minus 35 persen.

Imbas Sanksi Ekonomi, Perekonomian Rusia Terancam Kembali ResesiKonflik Rusia-Ukraina. (Shutterstock/Tomas Ragina)
04 March 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Perekonomian Rusia terancam kembali mengalami resesi atau pertumbuhan ekonomi negatif tahun ini. Hal tersebut merupakan dampak langsung sanksi ekonomi negara-negara Barat akibat serangan ke Ukraina.

JP Morgan Chase & Co, perusahaan induk jasa keuangan dan bank investasi asal Amerika Serikat (AS), misalnya, menaksir perekonomian Rusia akan terkoreksi hingga 35 persen pada kuartal kedua 2022, dan berpotensi anjlok hingga 7 persen pada akhir tahun.

“Isolasi ekonomi dan politik terhadap Rusia jelas akan menyebabkan pertumbuhan lebih rendah dalam jangka panjang,” kata Anatoliy Shal dari JP Morgan dalam sebuah catatan, seperti dikutip dari Reuters, Jumat (4/3).

Perkiraan koreksi tersebut bakal lebih buruk ketimbang penurunan 3,0 persen pada 2020 atau tahun pertama krisis pandemi virus corona. Sedangkan, pada 2021, ekonomi negara sama ditaksir tumbuh 4,5 persen.

Oxford Economics memperkirakan kontraksi ekonomi Rusia bisa mencapai 6 persen—skenario penurunan yang masuk akal—seiring tekanan terhadap pasar keuangan negara tersebut. Bahkan, koreksi bisa berlanjut hingga 7 persen tahun berikutnya jika perang berlarut-larut dan sanksi ekonomi lebih keras.

Namun, dampak ekonomi bagi Ukraina akan lebih buruk lagi karena kerusakan infrastruktur besar-besaran akibat serangan Rusia. Penurunan ekonomi Ukraina hingga 60 persen diperkirakan mungkin terjadi.

Peristiwa tersebut juga berpotensi menyusutkan perekonomian wilayah Eropa dan Inggris sekitar 0,5 poin persentase lonjakan harga gas.

Daftar sanksi ekonomi Rusia

Rusia, negara dengan ekonomi terbesar ke-11 dunia, terus beroleh sanksi dari negara-negara Barat. Terbaru adalah pembekuan aset bank sentral Rusia, dan pembatasan kemampuannya untuk mengakses cadangan dolar AS yang mencapai US$630 miliar atau lebih dari Rp9.000 triliun.

AS, Uni Eropa (EU), dan Inggris juga telah melarang warga dan perusahaan di masing-masing wilayahnya untuk berurusan dengan bank sentral Rusia, Kementerian Keuangan, dan dana abadinya.

Tak cukup itu, bank-bank Rusia juga dihapus dari sistem perbankan internasional yang dikenal sebagai SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication)—yang memungkinkan kelancaran transfer uang lintas negara (across borders). Larangan tersebut bisa berdampak pada, contohnya, penundaan pembayaran yang diperoleh Rusia untuk ekspor minyak dan gas (migas).

Itu belum termasuk sejumlah perusahaan dunia yang melakukan boikot terhadap Rusia dan memilih hengkang dari negara tersebut. Menukil Aljazeera, British Pretoleum (BP) dan Shell menarik diri dari proyek migas di Rusia. Perusahaan mobil, seperti Ford, Volvo, Jaguar, Hyundai, BMW dan Toyota, telah mengumumkan akan menghentikan produksi atau menyetop pasokan mobil ke Rusia.

Peringkat utang Rusia turun hingga jadi “sampah”

Sejumlah lembaga pemeringkat internasional menurunkan peringkat utang Rusia juga seiring sanksi ekonomi. Terbaru, Standard & Poor’s (S&P) Global Ratings memangkas rating utang negara tersebut menjadi “CCC-“ dari “BB+”, dan menempatkannya lebih jauh ke wilayah 'sampah' (junk) usai seminggu setelah penurunan terakhir.

Menurut S&P, sanksi internasional baru serta tindakan perlindungan dari Rusia telah meningkatkan risiko gagal bayar. Di samping itu, pasar keuangan Rusia juga berantakan setelah sejumlah perusahaan internasional memboikot  negara tersebut.

“Penurunan peringkat mengikuti penerapan langkah-langkah yang kami yakini kemungkinan akan secara substansial meningkatkan risiko gagal bayar (default),” demikian pernyataan S&P, Kamis (4/3), seperti dilansir dari Reuters.

S&P menyusul lembaga pemeringkat lain seperti Fitch dan Moody's yang sudah menurunkan peringkat Rusia menjadi status 'sampah'. Mereka menyebut sanksi negara Barat berdampak terhadap kemampuan Rusia untuk membayar utang dan akan melemahkan ekonomi. Kondisi itu turut mengirim mata uang Rusia rubel yang jatuh ke rekor terendah terhadap dolar dan euro.

Related Topics