BI Diramalkan Pertahankan Bunga Acuan 6%, Ini Faktor Penentunya
BI masih punya ruang penurunan bunga acuan di 2024.
Jakarta, FORTUNE - Bank Indonesia (BI) diperkirakan bakal menahan Suku Bunga Acuannya di level 6,00 persen pada Rapat Dewan Gubernur BI periode November 2024. Hal itu dipicu oleh pelemahan Nilai Tukar Rupiah di level Rp15.770/US$ di pertengahan November seiring dengan adanya arus modal keluar yang dipicu oleh tensi geopolitik dan naiknya ketidakpastian terkait Pemilu AS.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mencatat, antara pertengahan Oktober dan pertengahan November 2024, Indonesia memang mengalami arus modal keluar bersih senilai US$1,46 miliar dari pasar keuangan yang terdiri dari US$0,58 miliar dari pasar obligasi dan US$0,88 miliar dari pasar saham.
“Sebelum hasil pemilu, para investor mengambil sikap hati-hati, sehingga mengalihkan portofolionya ke aset safe haven. Setelah hasil pemilu keluar, dengan janji-janji kebijakan pro-bisnis dari Presiden terpilih Trump, banyak investor yang memindahkan aset mereka dari pasar negara berkembang,” kata ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky melalui keterangan tertulis yang dikutip di Jakarta, Rabu (20/11).
Dari kondisi itu, mengakibatkan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia naik, di mana imbal hasil obligasi 10 tahun naik dari 6,73 persen menjadi 6,94 persen dan imbal hasil obligasi 1 tahun naik dari 6,20 persen menjadi 6,34 persen pada periode yang sama.
Inflasi RI masih dalam tren penurunan
Di sisi lain, Inflasi umum di Oktober 2024 mencapai titik terendahnya sejak November 2021 dan relatif masih dalam batas target inflasi Bank Indonesia sebesar 1,5 persen hingga 3,5 persen. Inflasi umum pada Oktober 2024 turun dari 1,84 persen (yoy) pada September 2024 menjadi 1,71 persen (yoy) mencapai tingkat terendah sejak November 2021.
Penurunan inflasi didorong oleh kelompok harga yang diatur pemerintah dan kelompok harga bergejolak. Inflasi inti sedikit meningkat ke 2,21 persen (yoy), didorong oleh naiknya harga komoditas global.
“Meskipun terjadi perubahan dari deflasi bulanan yang konsisten ke inflasi, perubahan harga tahunan terus menunjukkan tren penurunan yang terus-menerus. Namun, hal ini tidak serta merta mencerminkan penurunan daya beli masyarakat. Kenaikan inflasi inti, baik secara bulanan maupun tahunan, lebih mengindikasikan permintaan yang stabil dalam beberapa waktu belakangan,” kata Riefky.
Tren yang diamati LPEM UI, kondisi ini terjadi lebih disebabkan oleh faktor musiman yang memengaruhi harga pangan bergejolak, sementara harga yang diatur pemerintah mencerminkan kecenderungan langkah-langkah pengendalian harga sebagai respons terhadap penurunan daya beli dari periode sebelumnya.
BI masih punya ruang penurunan bunga acuan
Sementara itu, Ekonom senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto melihat pilihan terbaik BI saat ini adalah tetap mempertahankan suku bunga acuan meskipun sebenarnya inflasi domestik terkendali dan perekonomian sedang butuh stimulus pelonggaran kebijakan moneter.
“Ke depan BI memang punya ruang cukup untuk menurunkan BI Rate minimal 25 bps dengan syarat rupiah menguat dan stabil di kisaran Rp15.300/US$, inflasi terjaga di kisaran 2,5 persen dan stabilitas politik domestik terjaga,” kata Ryan.
Namun demikian, bilamana RDG BI periode ini memutuskan untuk menurunkan BI Rate ke 5,75 persen, maka ruang BI untuk menurunkan BI Rate lagi di bulan-bulan berikutnya menjadi makin amat terbatas.
“Menurut saya, prioritas BI saat ini adalah pro stability over pro growth,” pungkas Ryan.
Di sisi lain, bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) telah memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis points (bps) pada November 2024 menjadi 4,50 persen - 4,75 persen. Keputusan ini diambil The Fed setelah bulan September 2024 lalu juga memangkas bunga 50 bps pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) secara berturut-turut.