Survei: Kurang Sosialisasi, Partisipasi Pajak Pelaku UMKM Masih Rendah
Ini upaya DJP tingkatkan literasi pajak.
22 November 2022
Jakarta, FORTUNE - Pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia telah memiliki tingkat kesadaran yang tinggi akan kepatuhan dan pentingnya membayar pajak. Namun, akibat rendahnya literasi dan pemahaman perhitungan perpajakan, kontribusi pelaku UMKM terhadap penerimaan pajak masih rendah.
Hal ini sesuai dengan hasil temuan riset DDTC FRA yang dituangkan di dalam dokumen "Policy Notes, Tinjauan dan Rekomendasi Kebijakan atas Pelaksanaan Kewajiban Pajak UMKM dalam Ekosistem Digital: Perspektif dan Suara dari Pelaku UMKM."
Tingginya kesadaran akan pajak tersebut tercermin dari mayoritas UMKM wajib pajak yang menyatakan bahwa pajak merupakan sarana kontribusi terhadap negara. Namun, di sisi lain, kontribusi PPh final UMKM masih sangatlah rendah.
"Kesadaran atau motivasi yang dimiliki, sayangnya masih tidak serta merta diikuti dengan pemahaman atau literasi yang didapatkan pelaku UMKM," kata Researcher of DDTC Fiscal Research & Advisory Lenida Ayumi dikutip melalui keterangan resmi di Jakarta, Selasa (22/11).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tahun 2019, kontribusi PPh final UMKM adalah sebesar Rp7,5 triliun, atau hanya sekitar 1,1 persen dari total penerimaan PPh secara keseluruhan.
Ini upaya DJP tingkatkan literasi pajak
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan, Pemerintah dalam hal ini DJP terus melakukan berbagai strategi dan upaya untuk meningkatkan literasi pajak bagi UMKM.
Upaya tersebut dilakukan antara lain melalui kolaborasi dengan tax center yang ada di perguruan tinggi di Indonesia. Di tax center inilah DJP melibatkan para mahasiswa menjadi relawan pajak yang bertugas memberikan edukasi pajak dan membantu pengisian SPT para Wajib Pajak, termasuk UMKM. Maret 2022, jumlah tax center di Indonesia telah ada sebanyak 336 unit.
“Selain itu, DJP juga memiliki program khusus UMKM yang disebut Business Development Services (BDS). BDS digalakkan melalui workshop, pelatihan kewirausahaan, seminar, kelas pajak tematik, serta layanan informasi dan asistensi kepada UMKM,” kata Neilmadrin.
Ke depan, lanjut Neilmadrin, DJP akan berusaha berkolaborasi dengan pelaku platform digital seperti marketplace untuk meningkatkan literasi pajak UMKM. Terlebih, melalui perubahan di pasal 32A UU HPP, nantinya dimungkinkan penunjukan marketplace untuk memungut pajak atas transaksi yang dilakukan di marketplace.
“Kita tahu, mayoritas penjual di marketplace adalah UMKM. Untuk itu perlu edukasi juga, baik kepada platformnya maupun UMKM-nya,” ungkap Neilmadrin.
61% UMKM belum manfaatkan PPh 0,5%
Riset dari DDTC FRA juga menemukan akibat dari kurangnya literasi serta pengetahuan dari UMKM, sebanyak 61 persen pelaku UMKM belum memanfaatkan fasilitas PPh final 0,5 persen. Selain itu, masih banyak juga pelaku UMKM yang hanya mengetahui. Namun, belum memahami ketentuan yang melekat dengan kewajiban pajak serta terhambat oleh kompleksitas ketentuan pajak, terutama terkait penghitungan.
Ketua Umum UMKM Naik Kelas, Raden Tedy menjelaskan, banyak UMKM lokal yang bisnisnya belum berkembang signifikan, misalnya mereka belum paham betul cara membuat laporan keuangan hingga mengurus perizinan.
“Rendahnya angka partisipasi pajak dari sektor UMKM dapat dikarenakan minimnya kemampuan dan pengetahuan mereka tentang perpajakan,” tambah Raden Tedy.
Terkait hal ini, Kepala Tax Center Universitas Gunadarma, Beny Susanti mengatakan bahwa DJP memiliki peranan yang sangat penting, terutama terkait literasi dan edukasi. Tidak adil apabila pihak lain, seperti platform ecommerce, yang lebih optimal dalam memberikan literasi dan edukasi.
Menurutnya, sebelum berbicara lebih jauh terkait mekanisme potong pungut, hendaknya pemerintah terlebih dahulu memenuhi hak utama UMKM, yaitu mendapatkan literasi dan edukasi yang baik tentang sistem perpajakan.
“UMKM bukan tidak mau bayar pajak, namun ada faktor lain, seperti sistem atau merasa kesulitan, atau kita kembali ke definisi pajak. Saya bayar pajak itu, saya dapat apa secara langsung, enggak ada. Tiba-tiba dipotong pajaknya, nah edukasi ini yang perlu kita sampaikan secara masif, ” tambah Beny Susanti.
Seperti diketahui, Kementerian Keuangan sebelumnya juga telah membuat sejumlah kebijakan agar penerimaan negara melalui UMKM dapat terserap secara optimal. Sebut saja Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018 yang memberikan keistimewaan peraturan perpajakan terhadap UMKM.
Misalnya, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM dari yang sebelumnya 1 persen menjadi 0,5 persen berdasarkan penghasilan brutonya. Selain itu, pemerintah juga telah membebaskan PPh untuk UMKM perseorangan dengan penghasilan di bawah Rp 500 juta per tahun melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).