FINANCE

Pajak Kripto Jepang Bikin Sebagian Pemain Hengkang

Karena tarif terlalu tinggi dan aturan belum jelas.

Pajak Kripto Jepang Bikin Sebagian Pemain HengkangIlustrasi kripto Avalanche/Skorzewiak

by Tanayastri Dini Isna KH

27 December 2021

Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Pemerintah Indonesia tengah mengkaji opsi pengenaan pajak transaksi aset kripto. Di sisi lain, negara dunia diketahui sudah menerapkan kebijakan pajak atas kripto. Negara mana sajakah itu? 

Jepang adalah salah satunya. Mulai 2022, Negeri Sakura setuju memasukan kripto sebagai aset yang wajib kena pajak. Karena itu, penerbit token yang terdaftar di pasar harus membayar pajak walaupun bukan mereka yang menjualnya.

“Tarif pajak untuk penerbit token adalah sekitar 35 persen. Pemerintah tak akan mengubahnya setidaknya untuk satu tahun lagi,” ujar Akuntan Pajak bersertifikat, Kenji Yanagisawa, dikutip dari Coindesk, Senin (27/12).

Bukan hanya penerbit, melainkan juga sejumlah proyek yang mencatutkan beberapa tokennya di bursa, khususnya ketika nilai pasar proyek itu naik. Bila tak mampu membayar, mereka harus menjual token ke pasar publik. Itu berisiko membawa dampak negatif terhadap harga token dan pergerakan proyek secara keseluruhan.

Akibat kebijakan baru itu, beberapa pendiri proyek kripto memutuskan migrasi dari Jepang ke negara lain. Mai Fujimoto, pendiri perusahaan konsultan blockchain dan kripto—Gracone—menyebut ada delapan proyek yang sudah hengkang dari Tanah Sakura.

Aturan yang Tidak Jelas

Salah satu yang hengkang adalah Astar Network—hub aplikasi terdesentralisasi multirantai yang dibangun oleh Sota Watanabe. Pemerintah Jepang akan mengenakan pajak setelah koin kripto terdaftar di pasar aktif. Namun, menurutnya, tak ada definisi jelas mengenai pasar aktif.

Watanabe mengatakan, “Peraturan yang tak jelas dan pajak yang tinggi adalah masalah serius di Jepang.”

Bursa ternama seperti Binance mungkin termasuk salah satu pasar aktif, katanya. Akan tetapi, belum ada kejelasan tentang status bursa terdesentralisasi atau bursa dengan volume perdagangan rendah.

“Apakah itu juga termasuk pasar aktif?” tanyanya

Watanabe mendirikan entitas di Singapura pada Oktober 2020 dan menghentikan proyeknya di pasar domestik pada 2021. Dia bahkan membuat program untuk membantu perusahaan kripto Jepang lain bedol desa ke Negeri Singa. Lebih jauh, dia ingin menerbitkan token di negara itu, lalu mengirim umpan balik ke pemerintah Jepang.

Kurangnya Kebijakan Pendukung

Selain aturan yang dinilai tidak jelas, para pemain juga pergi karena kurangnya kebijakan pendukung pertumbuhan industri blockchain Jepang. Awalnya, CEO Ryodan Systems AG, Leona Hioki berpikir Jepang ingin mendorong industri kripto domestik seperti yang Tiongkok lakukan pada sektor internetnya. Namun, dia berujar, “Ekspektasi saya sepertinya salah.”

Akhirnya dia memutuskan pergi ke Swiss dan memulai bisnis kriptonya di sana.