Wawancara Widianti Widjaja: Krisis Regenerasi Senyap di Balik Legenda Batik Oey Soe Tjoen

Jakarta, FORTUNE - Demi merayakan satu abad perjalanannya (1925-2025), Rumah Batik Oey Soe Tjoen (OST) menggelar pameran tunggal bertajuk "Keteguhan Hati Merawat Warisan". Pameran ini diselenggarakan di Galeri Emiria Soenassa, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 25 Juli hingga 3 Agustus 2025.
Pameran ini menampilkan lebih dari 90 helai kain batik tulis halus dari tiga generasi keluarga Oey Soe Tjoen. Tema pameran terinspirasi dari perjuangan dan keteguhan hati Widianti Widjaja sebagai pewaris generasi ketiga dalam merawat dan melanjutkan warisan leluhurnya.
Acara ini menjadi kesempatan langka bagi khalayak luas menelusuri lorong waktu dan melihat evolusi motif serta warna Batik Oey Soe Tjoen, mulai dari corak buketan bunga khas Eropa, motif peranakan Tionghoa seperti lotus dan naga, hingga eksplorasi motif kontemporer.
Di kalangan kolektor, Batik Oey Soe Tjoen bukanlah nama sembarangan. Memilikinya dianggap sebagai puncak pencapaian, sebuah bukti sahih apresiasi terhadap seni adiluhung. Namun, di balik mahakarya yang bahkan bisa memakan waktu pengerjaan satu dekade untuk selesai, sebuah krisis senyap tengah berlangsung. Warisan tiga generasi berusia 100 tahun ini terancam punah, bukan karena sepi peminat, melainkan karena ketiadaan penerus—baik pada pucuk pimpinan maupun di barisan para pembatik.
Fortune Indonesia wawancarai Widianti di tengah-tengah kesibukannya menyambut para pengunjung, Jumat 1 Agustus 2025. Dia memaparkan sebuah dilema kompleks. Di satu sisi, permintaan dan reputasi mereknya berada di puncak. Di sisi lain, ia harus berpacu dengan waktu yang terus menggerus jumlah sumber daya manusia yang mampu menerjemahkan visi artistiknya. Wawancara ini telah disunting demi kejernihan dan kejelasan.
Apa filosofi utama yang Anda pegang dalam menjalankan bisnis ini, dan apakah standar tinggi ini justru mempersulit regenerasi?
Saya selalu memegang prinsip: "Jangan sampai nama Oey Soe Tjoen hancur di tangan saya." Hancur bagi saya artinya kualitas produknya jelek. Karena itu, jika hasil batiknya jelek, tidak akan saya keluarkan. Kalau rusaknya parah, saya bakar.
Standar yang sangat tinggi ini menjadi salah satu alasan utama mengapa regenerasi sulit. Menemukan orang yang punya kesabaran dan kemampuan untuk mencapai level ini hampir tidak mungkin di zaman sekarang.
Anda belajar membatik secara kira-kira tanpa catatan. Apakah metode ini masih dipertahankan dan bagaimana dampaknya pada suksesi?
Iya, metode itu masih berjalan sampai sekarang. Tidak ada standar tertulis yang pasti. Saat mewarnai pun kadang seperti membuat kopi, hanya dituang dan dicelup berdasarkan perasaan. Inilah yang membuat prosesnya sangat sulit diwariskan.
Anak-anak saya melihat sendiri betapa rumitnya bekerja tanpa patokan yang jelas. Mereka tahu kesulitannya dan mengatakan tidak sanggup.
Apa tantangan terbesar yang dihadapi Batik Oey Soe Tjoen saat ini?
Tantangan terbesar saya sekarang adalah dari sisi pengelolaan sumber daya manusia yang makin lama makin habis. Itu saja. Kalau yang lainnya masih bisa saya tangani, tapi untuk SDM, sampai sekarang belum ada solusi.
Mengapa begitu sulit mencari generasi baru pembatik? Apakah tidak ada anak muda yang tertarik?
Masalahnya sangat sulit. Saya pernah mencoba mengambil orang baru, tapi hasilnya tentu tidak bisa langsung sempurna. Dilemanya, pelanggan tidak ada yang mau batik pesanan mereka yang mahal dipakai untuk percobaan.
Aku pernah ditegur pelanggan, dia minta dibuatkan yang baru dan berpesan, "Tolong dong batikku jangan buat percobaan lagi." Kalau satu orang berpikir seperti itu, semua pelanggan pasti juga tidak mau. Akhirnya, si pembatik yang baru ini tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengasah kemampuannya. Ini jalan buntu.
Selain krisis pembatik, bagaimana dengan suksesi di dalam keluarga?
Tidak ada yang mau. Anak saya ada dua, dan dua-duanya tidak mau. Aturan keluarga juga mengharuskan penerus harus keturunan langsung. Jadi pilihannya sangat terbatas. Mereka melihat sendiri betapa beratnya tekanan ini dan memilih untuk tidak melanjutkannya.

Jadi, siapa saja yang menjadi tulang punggung produksi saat ini dan seberapa genting situasinya?
Pembatik paling muda yang saya punya sekarang kelahiran tahun '85 atau '86, usianya sudah atau mendekati 40 tahun. Para pembatik senior biasanya berhenti bukan karena sakit, tapi lebih karena alasan keluarga, misalnya mau mengasuh cucu. Kalau sudah begitu, mereka tidak bisa membatik lagi. Itu adalah urusan yang tidak bisa saya tahan.
Di luar, reputasi Oey Soe Tjoen sangat besar. Ada contoh yang Anda ingat untuk menunjukkan reputasi itu?
Ada candaan di kalangan kolektor, kalau belum punya batik Oey Soe Tjoen, belum bisa dibilang kolektor sejati. Pernah ada seorang kolektor menelepon saya, dia merasa sangat malu saat wawancara karena ditanya dan ternyata belum punya koleksi kami.
Apakah gejolak ekonomi, seperti inflasi atau kenaikan harga, ikut memperberat tantangan yang ada?
Kalau kenaikan harga bahan baku, misalnya karena dolar naik, itu pasti berpengaruh pada biaya. Tapi untuk pembeli, tidak terlalu berpengaruh karena kebanyakan mereka dari kelas premium yang tidak terlalu sensitif dengan harga. Jadi, masalah utama kami benar-benar bukan di pasar atau ekonomi. Krisis kami murni bersifat internal, yaitu soal kelangsungan hidup para pembatik dan keahlian mereka.
Dengan semua kondisi ini, bagaimana Anda melihat masa depan bisnis ini? Apakah Anda menyerah?
Saya tidak berani bicara soal lima tahun ke depan. Kelangsungan bisnis ini bukan hanya bergantung pada kesehatan saya, tapi juga pada para pembatik yang tersisa. Kami punya candaan, "Kita lihat Tuhan cinta sama siapa dulu." Kalau Tuhan panggil saya lebih dulu, ya berarti semua ini selesai.
Saya tidak menyerah, tapi saya kembalikan kepada semesta. Kalau semesta mengatakan tahun depan sudah tidak ada, ya sudah. Saya hanya bisa berkomitmen pada apa yang sudah saya ambil dan melakukan yang terbaik yang saya bisa, selama kami semua masih diberi waktu.