MARKET

Permintaan Minyak Dunia Naik: Pasokan Mengetat, Harga Menguat

OPEC+ masih tahan pertumbuhan produksi minyak.

Permintaan Minyak Dunia Naik: Pasokan Mengetat, Harga MenguatTambang minyak dunia. (Pixabay/Matryx)
10 November 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Memasuki Rabu (10/11), minyak dunia mengalami kenaikan harga cukup signifikan. Minyak mentah berjangka Brent mencapai US$85,22 per barel, naik 44 sen atau 0,5 persen setelah peningkatan 1,6 persen sehari sebelumnya. Sedangkan, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS naik 16 sen atau 0,2 persen, menjadi US$84,31 per barel setelah sebelumnya naik 2,7 persen.

Dalam 2 minggu terakhir, menurut Reuters (10/11), harga minyak memang terus melonjak karena kuatnya permintaan. Sementara, data terbaru dari American Petroleum Institute (API) menunjukkan bahwa pasokan minyak masih terbatas. Hingga 5 November, stok minyak mentah Amerika Serikat (AS) turun 2,5 juta barel.

Avtar Sandu, manajer komoditas senior di Phillip Futures, Singapura, menyampaikan bahwa situasi ini juga erat kaitannya dengan Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) yang mempertahankan pertumbuhan produksi 400.000 barel per hari. “Pasokan ketat dengan OPEC berpegang teguh pada senjatanya,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, sepenyampaian dengan Sandu, tentang AS sebagai konsumen terbesar bahan bakar minyak (BBM) sudah mulai membuka pembatasan perjalanan. Dengan begitu, konsumsi BBM pun dipastikan akan meningkat. “Dampaknya adalah harga BBM di AS saat ini adalah sebesar US$3,32 per gallon atau setara Rp12.420 per liter dengan kurs Rp14.500 per dollar AS,” katanya dalam wawancara dengan Fortune Indonesia (10/11).

Pemulihan ekonomi akan terus meningkatkan permintaan energi

Mamit berpendapat bahwa pemulihan ekonomi global yang semakin meluas usai pandemi akan terus menumbuhkan permintaan energi secara global. Sejumlah negara yang mebuka perbatasannya dengan dunia internasional, seperti AS atau Indonesia, juga dipastikan akan menambah permintaan bahan bakar pesawat terutama pada negara berpenduduk besar.

“Kenaikan ini terus akan meningkatkan permintaan selama OPEC+ belum mau meningatkan kapasitas produksi mereka. Saya melihatnya, OPEC+ masih menikmati bulan madu akibat kenaikan ini pasca di 2020 harga minyak sangat terpuruk,” ujarnya Mamit.

Mamit juga mengatakan Arab Saudi akan menambah produksi minyaknya pada Desember, tetapi pasar masih meragukan keputusan tersebut. “Hal ini akan terus mengatrol harga minyak global di sepanjang 2021 ini,” katanya.

Untung-rugi kenaikan minyak bagi Indonesia

Bagi Indonesia, kata Mamit, situasi kenaikan harga minyak seperti sekarang berdampak pada dua sisi berbeda. Di sektor hulu, situasi ini laiknya berkah menguntungkan. “Sepanjang 2021 ini, ICP (Indonesian Crude Price) kita selalu di atas yang ditetapkan dalam APBN 2021. Dampaknya, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sektor migas mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2020,” ujarnya.

Berdasarkan data kementerian ESDM, PNBP sektor migas kuartal III–2021 mencapai Rp62,03 triliun, PNBP fungsional mencapai Rp107,91 miliar, dan pajak penghasilan (PPh) migas Rp19,86 triliun. “Hasil ini adalah dampak baik dari kenaikan harga minyak dunia. Selain itu, ini juga bisa menjadi pemacu bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk terus meningkatkan lifting migas mereka,” kata Mamit.

Sebaliknya, Mamit mengungkapkan bahwa kenaikan harga minyak di sektor hilir akan menambah beban negara dan BUMN Nasional seperti Pertamina dalam menyesuaikan harga untuk BBM umum. Hal ini terkait dengan BBM subsidi dan penugasan yang memang mendapatkan kompensasi bagi badan usaha.

“Selain itu, kenaikan ini juga bisa memperlebar CAD (defisit transaksi berjalan) kita, mengingat kita adalah net importer. Dampak semakin lebarnya CAD bisa berpengaruh terhadap inflasi kita, karena transaksi menggunakan dolar membuat rupiah akan semakin tertekan,” ujar Mamit.

Pertamina juga harus menanggung rugi karena tidak dapat menyesuaikan harga untuk BBM seperti Pertamax dan Pertalite. “Berdasarkan perhitungan saya, mereka harus menanggung kerugian sebesar Rp3.000 per liternya, karena tidak bisa menyesuaikan harga BBM umum tersebut,” ucapnya.

Related Topics