Bitcoin Melemah ke Rp1,84 M, Gejolak AS–Cina Ganggu Pasar Kripto

Jakarta, FORTUNE - Harga Bitcoin (BTC) kembali terseret arus pelemahan seiring meningkatnya ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Melansir CoinMarketCap, Kamis (16/10), nilai BTC turun 0,57 persen dalam 24 jam terakhir ke US$111.430 atau sekitar Rp1,84 miliar.
Sepanjang sepekan, pergerakan Bitcoin berfluktuasi tajam di rentang US$107.318–US$123.535, mencerminkan volatilitas tinggi usai gejolak “black friday” yang dipicu isu perang tarif dua raksasa ekonomi dunia tersebut.
Melansir Reuters, sebelumnya pada Selasa (14/10), harga bitcoin sempat turun hingga US$110.023,78 dan terakhir tercatat melemah 2,3 persen menjadi US$113.129. Mata uang kripto terbesar dunia itu sebelumnya mencetak rekor tertinggi di atas US$126.000 pada 6 Oktober. Sementara itu, ether, kripto terbesar kedua juga terdampak hingga merosot ke titik terendah US$3.900,80 dan terakhir turun 3,7 persen menjadi US$4.128,47.
Data CoinMarketCap juga menyoroti kapitalisasi pasar Bitcoin kini berada di kisaran Rp36.629 triliun, sementara volume transaksi harian menurun 24 persen menjadi Rp1.136 triliun. Tekanan tambahan datang setelah Beijing menjatuhkan sanksi terhadap komponen asal AS yang digunakan perusahaan pelayaran Korea Selatan, memperuncing tensi dagang antara kedua negara.
Imbas konflik AS–Cina membuat total kapitalisasi pasar kripto global anjlok dari US$3,96 triliun ke US$3,75 triliun, menghapus lebih dari US$210 miliar hanya dalam sehari. Meskipun beberapa altcoin mulai pulih, Bitcoin masih tertahan di area bearish.
Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa negaranya kini “secara aktif terlibat dalam perang dagang dengan Cina” setelah sebelumnya mengancam akan memberlakukan tarif 100 persen untuk seluruh impor dari Negeri Tirai Bambu.
Menurut Fyqieh Fachrur, Analis Tokocrypto, ketegangan geopolitik tersebut membuat investor berhati-hati dan memilih aset aman. “Selama hubungan AS–Cina masih goyah, kripto akan kesulitan pulih karena aset berisiko seperti ini biasanya hanya menguat saat kondisi global stabil,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Kamis (16/10).
Fyqieh menambahkan, pasar saat ini masih berada di fase badai akibat faktor eksternal makroekonomi. “Setiap bear market kripto punya pemicunya sendiri. Tahun 2018–2019 karena larangan Bitcoin di Cina, 2022 karena kenaikan suku bunga The Fed, dan kini di 2025 akibat perang dagang AS–Cina. Fase ini tak bisa dihindari, tapi biasanya diikuti pemulihan,” ujarnya.

Ia juga menilai volatilitas ekstrem baru-baru ini menunjukkan kekhawatiran jangka pendek investor terhadap arah kebijakan dagang global. “Jika tensi tarif terus berlanjut, pasar kripto akan tetap bergejolak. Tapi bila muncul sinyal positif seperti kesepakatan dagang atau penundaan tarif, badai ini bisa mulai reda,” imbuhnya.
Secara teknikal, Bitcoin saat ini bergerak sideways di kisaran US$110.000–US$116.000, dengan dominasi penjual. Level US$110.000 menjadi support krusial, sementara US$116.000 menjadi batas resistensi utama. Jika berhasil menembus level tersebut, potensi uji ulang ke US$120.000 terbuka lebar.
Fyqieh menyarankan investor untuk mengadopsi strategi defensif di tengah ketidakpastian. “Fokus utama sekarang adalah menjaga modal. Investor bisa menempatkan dana di aset yang lebih stabil seperti stablecoin (USDT, USDC) atau emas digital seperti PAX Gold (PAXG),” katanya.
Ia menilai PAXG yang didukung emas fisik 1:1 relatif tahan banting, hanya turun 0,23 persen saat pasar kripto ambruk belasan persen. Harga emas dunia sendiri melonjak menembus Rp2,4 juta per gram pada Kamis (16/10), didorong prospek pemangkasan suku bunga The Fed dan memanasnya kembali isu perang dagang AS–Cina.
Kenaikan harga emas global sekitar 50–55 persen sepanjang 2025 juga memperkuat tren tokenisasi emas sebagai bentuk investasi Real World Assets (RWA). “Kinerja PAXG menunjukkan peran emas digital sebagai safe haven efektif di tengah badai kripto,” tambah Fyqieh.
Bagi investor yang tetap ingin bertahan di pasar kripto, Fyqieh menilai aset besar seperti Ethereum (ETH), BNB, dan Solana (SOL) masih menjadi pilihan paling rasional. “Ketiganya punya fundamental kuat dan ekosistem mapan, sehingga lebih cepat pulih dibanding altcoin kecil yang volatilitasnya ekstrem,” katanya.
Pasar kini menanti rilis data inflasi (CPI) AS pada 24 Oktober yang akan menjadi penentu arah kebijakan suku bunga The Fed. Jika inflasi terkendali dan tensi tarif mereda, rebound kripto berpeluang terjadi di akhir 2025 hingga awal 2026. “Pemulihan kripto akan dimulai ketika ketidakpastian global berkurang. Untuk saat ini, investor harus sabar menunggu badai berlalu sambil disiplin menjaga posisi,” kata Fyqieh.