MARKET

TPN Ganjar-Mahfud: Pembangunan Era Jokowi Minim Dampak ke Pasar Modal

IHSG selama 10 tahun pemerintahan SBY tumbuh 489,29 persen.

TPN Ganjar-Mahfud: Pembangunan Era Jokowi Minim Dampak ke Pasar ModalANTARA FOTO/Galih Pradipta (deleted)
09 January 2024
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Tim Ekonomi Pemenangan Nasional atau TPN Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Irwan Ariston Napitupulu, membandingkan kinerja Pasar Modal era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menurutnya, program pembangunan infrastruktur yang digencarkan era Jokowi minim dampak ke pasar modal.

“Saya cek saya kaget juga kok Presiden SBY kinerjanya sampai 489 persen kinerja IHSG, sementara presiden Jokowi sampai kemarin 5 Januari penutupan kinerjanya itu sekitar 46 persen. Kok beda jauh sekali? Ada apa?” kata Irwan dalam Dialog Arah Kebijakan Investasi dan Pasar Modal 2024-2029 dengan APINDO di Jakarta, Senin (8/1).

Berdasarkan datanya, IHSG selama 10 tahun pemerintahan SBY tumbuh 489,29 persen. Pada 20 Oktober 2004, IHSG berada pada level 853,39, kemudian pada 17 Oktober 2014 mencapai 5.028,95.

Kemudian, IHSG berada di level 7.350,62 pada 5 Januari 2024. 

Irwan mengatakan, seharusnya pembangunan yang pesat juga memberikan dampak terhadap perkembangan pasar modal yang sehat. Sebab, banyak emiten bahan baku infrastruktur dan jasa konstruksi yang juga melantai di Bursa Efek Indonesia.

“Kita sebagai pelaku pasar modal kan penginnya juga mendapatkan imbas positifnya dari pembangunan ini,” ujar Irwan.

Irwan mengatakan banyak program pembangunan infrastruktur lebih mengandalkan bahan baku dari luar negeri, sehingga tidak memberikan daya ungkit yang cukup untuk kinerja emiten terkait infrastruktur di pasar saham.

“Maaf saya harus buka sedikit. Ternyata bajanya impor. Enggak kenalah dampak perusahaan baja dari sini. Semennya ternyata enggak pakai perusahaan yang sudah go public,” kata dia.

Minimnya saham berkualitas

Selain minimnya dampak pembangunan terhadap pasar modal, Irwanto juga menyoroti banyak perusahaan yang baru melakukan Initial Public Offering (IPO) namun kinerja sahamnya terus mengalami penurunan. Akhirnya, investor ritel merugi dan menjadi korban masuk ke saham-saham tidak berkualitas.

"Kok bisa ya less than one year dia dari IPO terus drop sampai ARB? ini kan ivestor yang masuk di IPO bisa kapok,” ujarnya.

Perlu diketahui, dari 79 emiten baru pada 2023, ada 51 saham di antaranya mencatatkan penurunan, sedangkan 28 sisanya mencatatkan kenaikan harga saham sejak IPO.

Beberapa emiten baru, menurut catatannya, berada pada rentang harga IPO Rp100–200 mencatatkan penurunan harga saham bahkan hingga ke bawah Rp50 hingga belasan rupiah per saham.

Menurut Irwan, perlu adanya sikap tegas dari regulator pasar modal seperti Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperketat syarat emiten IPO agar tidak merugikan para investor ritel.

"Kalau memang ada lubang di situ kita selesaikan kita tutup, sehingga jangan sampai ada saham IPO langsung ke gocap, karena jadi jelek presedennya ke pasar saham indonesia," ujar dia.

Related Topics