Meskipun upaya stabilisasi dilakukan secara agresif, sejumlah analis masih memproyeksikan bahwa tekanan jual terhadap saham akan terus berlanjut. Bahkan, pengelola bursa pun mengubah sejumlah aturan perdagangan untuk meminimalkan potensi kepanikan lebih lanjut.
Sebelum pasar dibuka pada hari Selasa itu, otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) memberlakukan revisi terhadap sistem auto rejection atau penolakan otomatis terhadap transaksi.
Bila sebelumnya batas penolakan berada di kisaran penurunan harga 20% hingga 35%, kini diturunkan menjadi 15%. Artinya, apabila sebuah saham turun hingga 15% dalam satu sesi perdagangan, maka sistem akan secara otomatis menolak order penjualan yang masuk.
Selain itu, aturan baru juga diberlakukan terkait trading halt. Jika indeks utama mengalami penurunan 8%, maka akan terjadi penghentian perdagangan selama 30 menit, lebih lama dibandingkan sebelumnya yang hanya 5%.
Bila setelah dibuka kembali indeks kembali terkoreksi hingga total 15%, maka perdagangan akan dihentikan lagi selama 30 menit. Apabila IHSG jatuh hingga melewati ambang 20%, maka perdagangan akan dihentikan sepenuhnya hingga akhir hari.
Menurut pihak bursa, aturan ini bertujuan memberikan waktu kepada investor untuk mencerna dan memproses informasi dengan lebih baik, serta menjaga kestabilan pasar.
Kepala Eksekutif BEI Iman Rachman menyatakan bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi mitigasi risiko pasar akibat ketidakpastian global.
“Ini diambil untuk mengantisipasi kondisi pasar. Kami tidak ingin menciptakan kepanikan, tetapi kami ingin investor domestik dan asing merasa yakin bahwa kami memberi mereka cukup ruang untuk bertransaksi setelah lebih dari seminggu libur,” tuturnya.
Namun, sejumlah pelaku pasar menilai bahwa revisi aturan tersebut hanya akan berfungsi sebagai langkah mitigasi jangka pendek.
Wakil Presiden Pemasaran, Strategi dan Perencanaan Kiwoom Sekuritas, Otavianus Andi, menyebut bahwa penyesuaian dalam sistem perdagangan memang bisa memberikan dukungan sementara bagi IHSG. Meski demikian, ia menekankan bahwa faktor utama yang menyebabkan gejolak tetaplah kebijakan ekonomi makro dan pengaruh kebijakan tarif dari AS.
“Pada dasarnya, kekhawatiran di pasar disebabkan oleh faktor ekonomi makro dan kebijakan tarif Trump,” ujarnya.
Ia juga menyarankan agar pemerintah mengambil kebijakan strategis secara menyeluruh untuk menenangkan pasar.
“Jadi menurut kami, untuk meredakan tekanan pasar, diperlukan langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk menjaga stabilitas rupiah, memastikan pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5%, dan respons strategis untuk menjaga surplus perdagangan Indonesia,” tambahnya.