Saham Teknologi Terkoreksi, Ini Prospeknya Menurut Manajer Investasi
Prospek saham teknologi beriring kinerja profitabilitas.
Jakarta, FORTUNE – Kinerja indeks saham teknologi tercatat mengalami kontraksi sepanjang tahun ini. Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), pada perdagangan Rabu (20/4), nilai indeks saham sektor ini sebesar 9.025, atau menurun 4,01 persen secara year-to-date (ytd) ketimbang sebelumnya yang 9.401.
Namun, jika dihitung secara tahunan (year-on-year/yoy), indeks teknologi masih melaju 177,1 persen. Sebagai informasi, BEI baru memperkenalkan indeks sektor ini pada Januari tahun lalu. Kala itu, nilai indeksnya tercatat 2.157.
Performa saham teknologi tak lepas dari kondisi pemulihan ekonomi domestik. Menurut Presiden Direktur PT Mandiri Manajemen Investasi, Aliyahdin Saugi, perseroan masih optimistis akan prospek saham sektor ini.
Meskipun, kata pria yang akrab disapa Adi ini, nantinya peluang saham teknologi ini juga akan bergantung pada persepsi pelaku pasar dan kinerja mereka.
“Kami melihat saham-saham teknologi ini untuk jangka panjang,” kata Adi kepada Fortune Indonesia, Senin (11/4), seraya menambahkan bahwa saham-saham ini tergolong mahal.
Valuasi
Senada, Presiden Direktur PT Schroder Investment Management Indonesia, Michael T. Tjoajadi, berpendapat valuasi saham-saham teknologi di tingkat global menunjukkan tren penurunan.
“Karena valuasi mereka sudah sangat-sangat tinggi,” ujar Michael kepada Fortune Indonesia, Selasa (12/4).
Indeks sektor teknologi Nasdaq-100 di pasar saham Amerika Serikat (AS) yang turun 18,26 persen sejak awal tahun atau secara ytd bisa jadi misal. Lalu, indeks teknologi Hang Seng di bursa Hong Kong pada kurun sama terkoreksi 26,7 persen.
Menurut statistik bulanan BEI per Maret 2022, setidaknya ada empat perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar pada indeks teknologi, di antaranya: PT Elang Mahkota Teknologi (market cap Rp150,04 triliun), PT DCI Indonesia Tbk (Rp103,22 triliun), PT Bukalapak.com Tbk (Rp39,37 triliun), dan PT M Cash Integrasi Tbk (Rp10,69 triliun).
Ambil contoh saham Elang Mahkota Teknologi atau EMTK yang secara ytd meningkat 13,5 persen. Saham M Cash Integrasi pada kurun sama juga menguat lebih dari 19 persen. Sedangkan, saham DCI Indonesia dan Bukalapak masing-masing terkoreksi 16,4 persen dan 14,6 persen.
DCI tahun lalu meraih kenaikan laba 42,8 persen menjadi Rp261,45 miliar. Lalu, Bukalapak pada 2021 rugi Rp1,67 triliun, atau meningkat 24,0 persen secara tahunan. Sedangkan, EMTK dan M Cash Integrasi belum mengumumkan kinerja keuangan keseluruhan 2021.
Tantangan kinerja
Saham perusahaan teknologi masih perlu menunjukkan kinerja keuangannya yang positif, menurut Adi. Sebab, sektor ini masih belum menemukan formula tepat soal kemampuan mencetak laba atau profitabilitas.
“Tapi potensi teknologi ini sangat-sangat luar biasa,” ujarnya.
Di sisi lain, pasar modal Indonesia belum lama ini kedatangan sejumlah perusahaan teknologi baru, seperti PT GoTo Gojek Tokpedia Tbk dan PT Wir Asia Tbk, perusahaan jasa teknologi realitas digital dan pengembang metaverse.
Wir Group, misalnya, resmi melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) dengan meraup dana segar lebih dari Rp431 miliar, Senin (4/4). Harga saham penawarannya mencapai Rp168 per lembar. Menurut data BEI, saat ini harga saham Wir Group mencapai Rp1.455 per saham, atau meningkat 820,9 persen dari harga IPO.
Sedangkan, decacorn grup GoTo berhasil menghimpun pendanaan senilai Rp15,8 triliun. Saat ini harga saham GoTo mencapai Rp348 per saham, menurut data BEI. Dengan kata lain, terjadi kenaikan 3,0 persen dari Rp338 per saham harga penawaran umum perdana.
Pada aspek kinerja, laba Wir Asia November tahun lalu turun 8,3 persen menjadi Rp17,29 miliar. Sebagai perbandingan, pada 2019 dan 2020, keuntungannya masing-masing Rp6,06 miliar dan Rp8,79 miliar.
Akan hal GoTo, kerugiannya kuartal ketiga tahun lalu Rp11,58 triliun. Sebagai perbandingan, pada periode sama tahun sebelumnya, GoTo merugi Rp10,42 triliun.