Prospek Obligasi dan Saham Usai BI Pangkas Suku Bunga

- BI memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,50 persen.
- Obligasi dan saham berpotensi positif dengan penurunan suku bunga, namun investor perlu waspada terhadap risiko eksternal.
- Sektor perbankan, properti, dan konsumsi dapat mengalami dampak positif dari kebijakan pelonggaran moneter.
Jakarta, FORTUNE - – Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 5,50 persen. Chief Investment Officer PT Inovasi Finansial Teknologi (Makmur), Stefanus Dennis Winarto, menilai penurunan suku bunga ini menjadi katalis positif bagi instrumen obligasi dalam jangka panjang.
Menurutnya, ketika suku bunga acuan turun, imbal hasil (yield) obligasi cenderung menurun. Kondisi ini menyebabkan kenaikan harga obligasi dan membuka peluang capital gain bagi investor.
Ia mencermati penurunan suku bunga tersebut telah diantisipasi oleh pasar (priced-in). Hal ini tecermin pada turunnya yield obligasi pemerintah 10 tahun (ID10Y) dari level 7,3 persen pada Januari menjadi 6,8 persen, sebelum pengumuman Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Mei ini.
“Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar ekspektasi pelonggaran suku bunga sudah tecermin dalam harga obligasi,” demikian Stefanus dalam risetnya, Selasa (27/5).
Tidak hanya pada pasar obligasi, kebijakan pelonggaran moneter ini dinilai berdampak positif bagi pasar saham. Sektor-sektor seperti perbankan, properti, dan konsumsi yang sensitif terhadap perubahan suku bunga berpotensi diuntungkan.
Pada sektor perbankan, penurunan suku bunga membuat biaya pinjaman menjadi lebih murah, sehingga mampu mendorong permintaan kredit. Mengingat sebagian besar laba bank berasal dari kegiatan pembiayaan, terutama pendapatan bunga, penurunan risiko kredit yang menyertai juga memberikan ruang bagi bank untuk memperoleh laba bersih yang optimal.
“Kondisi tersebut memberikan ruang bagi bank untuk memperoleh laba bersih yang optimal,” ujarnya.
Sementara itu, dari sektor properti, suku bunga rendah akan menyebabkan suku bunga pinjaman seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) cenderung turun dan membuat pinjaman lebih terjangkau. Hal ini berpotensi mendorong minat masyarakat untuk melakukan pembelian properti, yang dapat menjadi katalis positif bagi penjualan dan laba emiten terkait.
Pada sektor barang konsumsi, kebijakan moneter yang longgar diharapkan mampu meningkatkan daya beli masyarakat. Akibatnya, konsumsi rumah tangga berpotensi naik.
Namun, Stefanus mengingatkan, indeks saham dan beberapa sektor tersebut telah mengalami kenaikan cukup signifikan dalam dua bulan terakhir.
"Oleh karena itu, strategi yang lebih bijak adalah melakukan buy on weakness, yaitu akumulasi saham saat harga terkoreksi, bukan membeli secara terburu-buru di puncak harga," ujarnya.
Ia menambahkan, meskipun sentimen domestik menunjukkan perbaikan, investor tetap perlu mewaspadai berbagai risiko eksternal. Beberapa di antaranya adalah ketidakpastian perang dagang, arah kebijakan suku bunga Fed, fluktuasi nilai tukar rupiah, serta perkembangan kebijakan dagang Amerika Serikat, terutama potensi perubahan sikap Presiden Donald Trump saat periode jeda 90 hari kebijakan tarif mendekati masa berakhir.
Ketidakpastian ini berpotensi memicu volatilitas baru di pasar global. Oleh karena itu, investor perlu cermat dalam memilih instrumen investasi sesuai dengan profil risiko agar dapat mencapai tujuan keuangan.
Bagi investor yang menginginkan potensi imbal hasil lebih tinggi dalam jangka panjang, reksa dana saham dapat menjadi pilihan karena valuasi saham masih tergolong rendah secara historis. Namun, mengingat tingkat fluktuasinya yang lebih tinggi, strategi alokasi aset untuk instrumen ini sangat penting.
Sementara itu, bagi investor dengan profil risiko konservatif hingga moderat yang menginginkan imbal hasil lebih stabil, reksa dana pendapatan tetap masih menjadi pilihan yang tepat.
“Namun, perlu dicatat bahwa potensi kenaikan harga (upside) ke depan cenderung lebih terbatas dibandingkan fase awal penurunan suku bunga,” ujarnya.