Bali, FORTUNE - Di tengah pergeseran minat investor ritel dan peran investor institusi lokal yang belum maksimal, pasar modal Indonesia memasang target ambisius untuk 5 tahun ke depan: masuk ke peringkat 10 bursa terbaik global. Berbagai strategi pun disiapkan, termasuk dari segi penyesuaian regulasi.
Target itu turut dilandasi pertumbuhan bursa saat ini. Dari sisi kapitalisasi pasar misalnya, yang sudah melampaui target pengembangan berdasarkan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) pada 2025–2029. Dalam peta jalan itu, kapitalisasi pasar modal terhadap PDB ditargetkan mencapai 68 persen pada 2029. Namun, per 7 November 2025, kapitalisasi pasar modal sudah mencapai Rp15.316 triliun (69,18 persen terhadap PDB 2024).
"Kami juga memiliki target dalam peta jalan pasar modal, yaitu pada 2022–2027 itu target kami 70 persen [kapitalisasi pasar terhadap PDB]. Tinggal sedikit lagi. Mudah-mudahan sebelum akhir tahun sudah mencapai 70 persen," kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Inarno Djajadi dalam acara Workshop Capital Market Journalist di Bali, November 2025, dikutip Senin (17/11).
Guna merealisasikan itu, diperlukan pendalaman pasar lebih lanjut. Salah satu caranya, dengan meningkatkan batas minimal free float emiten secara bertahap hingga mencapai 25 persen. Tujuannya, memperkuat sisi permintaan.
Sebagai konteks, saat ini, batas minimal free float emiten adalah 7,5 persen. Angka itu lebih rendah dibandingkan batas minimal free float negara-negara tetangga, yakni: Filipina (10 persen), Singapura (10–15 persen), dan Malaysia (25 persen).
"Target kita memang [batas minimum free float] 25 persen, tapi tidak mungkin langsung, karena konsekuensinya itu cukup banyak. Jadi akan dilakukan bertahap," kata Inarno. "Dalam waktu dekat itu akan ditingkatkan ke 10 persen. Berikutnya 15 persen, lalu ke 25 persen."
Yang selanjutnya perlu dipikirkan adalah dampak penyesuaian free float itu terhadap emiten-emiten di bursa. Khususnya, sekitar 38 emiten yang belum memenuhi kriteria free float saat ini.
Karena itu, bursa mengusulkan kepada OJK untuk menyusun kebijakan yang dapat mempermudah rights issue. Saat ini, proses untuk mendapatkan aksi korporasi itu mencakup beberapa tahapan, termasuk pelaksanaan RUPS.
"Kalau ini bisa lebih pendek, artinya penambahan free float atas emiten yang sudah ada juga bisa lebih cepat," kata Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Iman Rachman dalam kesempatan yang sama.
Lebih lanjut, Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, menambahkan, bursa pun telah menyiapkan draf peraturan untuk menyesuaikan dasar penghitungan free float dari ekuitas menjadi kapitalisasi pasar. Berdasarkan simulasi bursa, skema tersebut diklaim berdampak positif terhadap kenaikan free float emiten.
"Anggaplah dengan metode ekutias, [free float] dia hanya 10 persen. Tapi dengan market cap, dia wajib ke 15 persen. Kami sudah lakukan backtesting 3 tahun," ujar Nyoman kepada pers di Bali, ditemui setelah acara tersebut.