8 Tanda Work Life Balance Kacau, Bagaimana Memperbaikinya?

Jakarta, FORTUNE - Di tengah dorongan global menuju efisiensi dan kesejahteraan karyawan—seperti uji coba pekan kerja empat hari di Uni Emirat Arab dan Inggris—banyak pelaku bisnis di Amerika Serikat dan negara lain justru menghadapi tantangan sebaliknya, kekacauan dalam keseimbangan antara hidup dan pekerjaan (work life balance).
Di dunia pascapandemi yang serba digital, notifikasi pekerjaan tak lagi mengenal batas ruang dan waktu. “Tidak ada lagi jam lima sore sebagai batas akhir hari kerja. Bos, rekan kerja, bahkan klien bisa menghubungi Anda kapan saja,” kata Dr. Judith Joseph, psikiater dan penulis buku High Functioning, melansir Fortune.com (24/4).
Dia juga menekankan, banyak pekerja kehilangan kehidupan pribadi akibat tekanan pekerjaan. “Banyak dari kita tidak sedang bekerja dari rumah—kita hidup di tempat kerja," ujarnya.
Dalam artikelnya yang diadaptasi dari buku tersebut, Joseph memetakan delapan kebiasaan yang diam-diam menandakan bahwa keseimbangan kerja dan hidup Anda mungkin sudah bergeser terlalu jauh dan berpotensi mengacaukan kehidupan.
Konsisten bekerja lebih dari 40 jam per minggu, termasuk malam hari dan akhir pekan.
Menunda kebutuhan tubuh, seperti tidak ke toilet, menunda makan, dan jarang olahraga.
Lingkungan kerja yang steril tanpa sentuhan pribadi, sebagai bentuk ‘kesetiaan’ kepada kantor.
Duduk seharian tanpa bergerak, rapat tanpa henti diselingi balasan surel dan terlalu fokus ke layar.
Tidak pernah meminta bantuan. Alasannya menahan beban sendiri demi citra profesional.
Tidak ada interaksi sosial di luar kantor, semua relasi berpusat pada pekerjaan.
Cuti tidak pernah diambil, meski akumulasi hari libur terus bertambah.
Kehilangan orientasi waktu, sampai bersiap kerja di hari Sabtu.
Joseph mengatakan bahwa jangan mengorbankan keseimbangan hidup demi eksistensi “Keseimbangan kerja dan hidup bukan sekadar istilah tren, melainkan kebutuhan vital. Bagi sebagian orang, pekerjaan telah menjadi identitas, bahkan eksistensi.”
Bagaimana berubah dan mendapatkan work life balance?
Sebagai pemimpin bisnis, kita sering kali terlalu fokus pada performa dan pertumbuhan, hingga lupa bahwa fondasi organisasi adalah manusia. Saat seorang profesional mulai kehilangan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, dampaknya tidak hanya merugikan individu, tetapi juga perusahaan. Perubahan bisa dimulai dari langkah sederhana tapi signifikan. Pemimpin bisnis bisa melakukannya serta mengimbau para karyawan untuk ikut menjaga work life balance mereka dengan hal berikut ini.
Pulang tepat waktu, satu hari dalam seminggu. Kunci keberhasilannya adalah menjadwalkan aktivitas produktif dan menyenangkan setelah jam kerja—seperti mengikuti kelas kebugaran atau sesi mentoring.
Ambil cuti untuk kesehatan mental, bukan hanya untuk pemulihan fisik.
“Saya memberi tim saya sembilan hingga dua belas hari cuti kesehatan mental per tahun—tanpa pertanyaan. Dan mereka tidak boleh bekerja lebih dari 40 jam per minggu," ungkap Joseph.
Lebih sering berolahraga, agar lebih sehat dan kreatif. Kelelahan kronis, stres, dan burnout adalah bom waktu yang perlahan menggerogoti kreativitas dan produktivitas. Bahkan, rutinitas olahraga pun menjadi korban pertama dari jadwal kerja yang padat. Padahal, olahraga bukan hanya soal kebugaran fisik, melainkan juga mekanisme penting untuk menjaga kejernihan pikiran, kestabilan emosi, dan daya tahan tubuh.
Tanpa ruang untuk rehat dan gerak, tubuh akan mulai mengirim sinyal bahaya: imunitas menurun, kualitas tidur terganggu, dan mood memburuk. Semua itu pada akhirnya akan tercermin dalam keputusan bisnis yang tidak optimal, hubungan kerja yang renggang, dan hilangnya arah dalam hidup.
Jadi, jika Anda menemukan diri Anda membaca ini sambil mencuri waktu di antara dua pertemuan virtual, mungkin inilah waktunya untuk berhenti sejenak dan bertanya: "Apakah saya bekerja untuk hidup, atau hidup untuk bekerja?"