Alasan RI Beri Tarif 0 Persen untuk Produk AS Dalam Kesepakatan Trump

- Pemerintah Indonesia memberikan tarif bea masuk nol persen bagi hampir seluruh produk AS yang masuk ke Tanah Air.
- Indonesia mendapat 19 persen dari sebelumnya dipatok 32 persen, menjadikannya negara dengan tarif resiprokal terendah di antara negara-negara yang menyebabkan defisit perdagangan bagi AS.
- Banyak komoditas AS sudah dapat tarif mendekati nol, bukan berarti Indonesia merugikan diri sendiri karena sebagian besar sudah mendapatkan perlakuan yang sama dalam kerja sama dagang lain.
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah Indonesia menyepakati pemberian tarif bea masuk nol persen bagi hampir seluruh produk Amerika Serikat (AS) yang masuk ke Tanah Air. Kebijakan ini merupakan bagian dari kesepakatan dagang bilateral Indonesia-AS dalam merespons kebijakan tarif resiprokal Presiden AS, Donald Trump. Sebagai imbal baliknya, tarif resiprokal yang dikenakan AS pada produk ekspor Indonesia berhasil diturunkan dari 32 persen menjadi 19 persen.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso menjelaskan dari total 11.552 pos tarif harmonisasi sistem (HS) yang diusulkan, 11.474 pos tarif atau sekitar 99 persen disepakati untuk dikenakan tarif impor nol persen bagi barang dari AS.
Menurutnya, jika berkaca pada perundingan bilateral lainnya, hal ini bukan kebijakan baru yang eksklusif untuk AS. Ini adalah bagian dari pola umum dalam skema perdagangan bebas (FTA) dan kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA) yang telah diterapkan Indonesia dengan negara lain.
“Kalau lihat skema FTA dan CEPA kita, bukan hanya dengan Amerika, mayoritas tarif impor memang sudah 0 persen. Dengan ASEAN lewat ATIGA (ASEAN Trade in Goods Agreement), itu sudah lebih dari 99 persen barang masuk tanpa bea. Begitu juga dengan Australia, Selandia Baru, Jepang—rata-rata sudah di atas 90 persen,” kata Susiwijono saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (18/7). Ia menambahkan, hingga saat ini Indonesia telah memiliki 19 perjanjian FTA dan CEPA dalam kerangka bilateral dan regional.
Kebijakan ini sekaligus menjadi bagian dari upaya Indonesia merespons kebijakan tarif resiprokal AS. Sebelumnya, produk ekspor Indonesia ke Amerika dikenai tarif resiprokal hingga 32 persen. Lewat perundingan intensif, Indonesia berhasil menurunkannya menjadi hanya 19 persen, menjadikannya negara dengan tarif resiprokal terendah di antara negara-negara yang menyebabkan defisit perdagangan bagi AS.
“Kalau dibandingkan dengan negara lain, kita paling rendah. Bahkan Singapura, yang memiliki surplus neraca perdagangan dengan Amerika, dikenai tarif dasar 10 persen. Posisi Indonesia ini jauh lebih kompetitif,” kata Susiwijono.
Ia menekankan pemberian tarif nol persen bukan berarti Indonesia merugikan diri sendiri. Pasalnya, sebagian besar barang impor dari AS yang dikenakan tarif nol persen tersebut memang sudah mendapatkan perlakuan serupa dalam kerja sama dagang lain. Bahkan sebelum kesepakatan ini, tarif untuk sekitar 49 persen dari total produk AS yang diimpor Indonesia memang sudah mendekati nol atau bahkan dibebaskan dari bea masuk.
“Jadi, jangan bayangkan tiba-tiba setelah perundingan ini semua jadi nol, terus kita dirugikan. Tidak seperti itu. Banyak produk AS yang sudah dikenakan 0 persen sejak dulu, bahkan tanpa ada skema khusus. Ini memang cerminan dari kebijakan perdagangan kita yang terbuka,” ujarnya.
Susiwijono mencontohkan beberapa produk dari AS yang dikecualikan dari tarif nol persen adalah minuman beralkohol dan daging babi.
Lebih lanjut, Susiwijono menyampaikan bahwa tarif resiprokal yang diberlakukan oleh AS merupakan kebijakan tambahan di luar tarif most favoured nation (MFN). Tarif ini dikenakan secara khusus pada negara-negara yang dinilai menyumbang defisit perdagangan bagi Amerika. Namun, Indonesia tetap mendapat perlakuan yang lebih baik berkat posisi tawar yang kuat dan perhitungan investasi konkret dalam hubungan bilateral.
“AS berurusan dengan lebih dari 100 negara. Dalam konteks itulah kita dilihat sebagai mitra yang memberikan nilai tambah. Kita negosiasi secara bilateral dan konkret, dan mereka menghormati posisi Indonesia,” katanya.
Dengan kesepakatan ini, Indonesia berharap neraca perdagangan dengan AS tetap stabil, sekaligus menjaga daya saing produk ekspor nasional di tengah ketatnya kebijakan dagang global.