Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Nickel Mining in Morowali. Shutterstock_Eri Saferi

Jakarta, FORTUNE - Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan bijih nikel impor dari Filipina berkadar rendah. Komentar tersebut mengoreksi pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, sebelumnya bahwa impor dilakukan untuk menutupi kekurangan pasokan nikel yang hilang akibat penambangan ilegal di Blok Mandiodo, Konawe Utara.

Menurut Meidy, bijih nikel yang berasal dari blok tersebut rata-rata memiliki kandungan nikel tinggi (1,5-3 persen) alias saprolite. Sementara bijih impor memiliki kandungan nikel rendah atau limonite (0,8-1,5 persen), dan tidak cocok dengan smelter yang membutuhkan bahan baku nikel dari blok tersebut.

Di sisi lain, produksi nikel berkadar rendah justru melimpah di Indonesia.

"Illegal mining kemarin, itu bijih nikel kadar tinggi. Dan kami tahu persis yang diimpor. Kami punya data itu impornya biji nikel kadar rendah 1,2 persen," ujarnya dalam Konsultasi Publik - Rancangan Peraturan Menteri ESDM terkait RKAB, Rabu (6/9).

Laporan tahunan Antam 2022 menunjukkan Blok Mandiodo memiliki bijih dengan kandungan nikel di atas 1,2 persen. Untuk bijih nikel saprolite, terindikasi bijih dengan kandungan nikel 1,77 persen sebanyak 1,61 juta ton sementara cadangan terekanya dengan kandungan nikel 1,74 persen mencapai 4,43 juta ton.

Cadangan limonite yang terindikasi mencapai 6,17 juta ton dengan kadar nikel 1,42 persen dan cadangan tereka sebanyak 2,17 juta ton dengan kadar nikel 1,43 persen.

"Ini beberapa hal yang kami butuh mediasi dari Bapak, bagaimana antara penambang dan smelter terjadi keseragaman kesinambungan supply chain-nya," kata Meidy.

<p><strong>Jadi sorotan Komisi VII</strong></p>

Editorial Team

Tonton lebih seru di