Kalkulasi Potensi PPN Sembako, INDEF : Tahun 2020 hanya Rp21,1 triliun
Indef sarankan pemerintah optimalkan sumber pajak lain.
Jakarta, FORTUNE - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) melakukan simulasi penghitungan terkait potensi rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada bahan pangan atau sembako. Untuk kalkulasi tahun 2020 saja, potensi dari pungutan ini hanya mencapai Rp21,1 triliun.
“Itu juga tidak ujug-ujug, datang tapi banyak tantangannya yang harus dihadapi pemerintah,” kata Ekonom Indef Rusli Abdullah dalam dialog virtual , Selasa (14/9).
Kemudian, Rusli menyebut, untuk potensi PPN sembako pada tahun 2019 pun hanya Rp16,8 triliun. Capaian 2019 ini hanya turut menyumbang ke perolehan pajak negara 1,28 persen, dan 2020 hanya 1,97 persen dari total per tahunnya.
1. Metode kalkulasi yang digunakan Indef
Untuk penghitungan dari potensi PPN sembako, Rusli menjelaskan, awal mulanya dari perhitungan rerata pengeluaran per kapita masyarakat Indonesia untuk membeli kebutuhan pangan ditentukan Rp204 ribu per bulan di tahun 2020. Kemudian dikalikan 12 bulan atau selama satu tahun dan mendapatkan hasil Rp3,2 juta pengeluaran per kapita untuk delapan komoditas.
Dari jumlah tersebut, Rusli menjelaskan, dikalikan dengan total keluarga yang ada di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistuik (BPS) ada sekitar 65,5 juta keluarga di Tanah Air pada tahun 2019.
Hasilnya ada sekitar Rp211 triliun, lalu dikalikan 10 persen sebagai angka pembulatan (pungutan pajak), sehingga ketemulah potensi pendapatan pajak sembako Rp21 triliun pada 2020. “Angka ini kalau seandainya mau dinaikkan atau ditambahkan untuk kontribusi tax ratio kecil banget,” kata dia.
2. Indef sarankan pemerintah optimalkan sumber pajak lain
Rusli mengatakan, ketimbang pemerintah memungut pajak sembako lebih baik mencari sumber-sumber pajak baru yang belum optimal. Di antaranya seperti pajak mineral, dan PPh badan yang justru diwacanakan akan diturunkan dan para orang super kaya yang diduga mengemplang pajak.
“Apakah itu (pajak sembako) nendang jika dibandingkan transfer pricing, mineral pajak atau optimalisasi pajak yang belum maksimal. Terutama PPH badan yang celakanya adalah akan diturunkan,” tuturnya.
Saat pandemi Covid-19 seperti sekarang, Rusli menyebut penerapan wacana ini akan menghadapi banyak tantangan. Sebab, saat ini ekonomi masyarakat masih terkenan. Kemudian dengan pemberlakuan wacana PPN sembako sembako dikhawatirkan akan memicu kenaikan inflasi. "Karena secara psikologis membuat masyarakat khawatir. Takutnya, akan ada kenaikan inflasi yang diekspektasi atau masa depan," ujarnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, ada beberapa tantangan PPN sembako. Di antaranya adalah masih besarnya sektor informal dalam perekonomian Indonesia. Pasalnya, dalam memungut pajak harus digunakan data yang akurat.
3. DPR tolak wacana pajak sembako
Sebelumnya, sejumlah anggota DPR saat rapat kerja bersama Kementerian Keuangan, Senin (13/9), menolak usulan pemerintah untuk mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan. Rencana kebijakan itu dinilai tidak memberikan hak dasar kepada masyarakat dan akan memberatkan masyarakat.
Adapun, rencana tersebut akan tertuang dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Hingga saat ini, rencana penerapannya masih dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU Tata Cara Perpajakan (KUP) Komisi XI DPR.