NEWS

Kemenperin Bantah Kritikan Faisal Basri Soal Deindustrialisasi

Indonesia tengah berada pada fase industrialisasi.

Kemenperin Bantah Kritikan Faisal Basri Soal DeindustrialisasiPlt. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Ignatius Warsito dalam media breafing di Jakarta, Senin (28/8). (Eko Wahyudi/FORTUNE Indonesia)
by
28 August 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membantah pernyataan Ekonom Senior Faisal Basri yang menyebut sektor manufaktur Indonesia mengalam fase deindustrialisasi.

Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT), Ignasius Warsito, mengatakan hal tersebut tidak benar. Justru saat ini, menurutnya, Indonesia tengah berada pada fase industrialisasi.

"Butuh suatu riset publik yang komprehensif untuk menyatakan deindustrialisasi. Jadi, pandangan-pandangan pakar termasuk kemarin ada kritikan terhadap pemerintah dari Faisal Basri ini ya kita harus sikapi secara positif, bahwa melihat dari hilirisasi belum selesai, harusnya yang ada industrialisasi," ujarnya dalam media briefing, Senin (28/8).

Warsito mengatakan isu deindustrialisasi merupakan introspeksi untuk meningkatkan kinerja industri, maupun untuk mencapai target kontribusi industri terhadap produk domestik bruto (PDB), ekspor, investasi, dan penciptaan lapangan kerja. Itu merupakan upaya yang dilakukan pemerintah dari waktu ke waktu.

"Kalau kita lihat secara pasca atau selama pandemi Covid-19 ini, kita juga sudah all out semua. Bukan hanya dari pemerintah, tapi industri. Semua bekerja bersama-sama dan ini menghasilkan suatu tren positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia," katanya.

Dia menjelaskan pemerintah sedang mendorong hilirisasi industri. Jadi, anggapan bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi tidak tepat.

Menyiapkan peta hilirisasi untuk komoditas lain

Sementara itu, Direktur Industri Semen, Keramik, dan Pengolahan Bahan Galian Non Logam, Wiwik Pudjiastuti, menjelaskan jika berkaca dari sektor industri nonlogam, deindustrialisasi sangat tidak relevan. Pasalnya, pada 2022 sektor tersebut investasinya tumbuh hingga 25 persen secara tahunan bila dibandingkan dengan 2021.

Selanjutnya, pada semester I-2023, investasi baru pada industri pengolahan nonlogam mencapai Rp7,3 triliun atau tumbuh 26,2 persen.

"Tentunya ini kalau kita bicara dari data pun, kita juga tidak bisa melihat bahwa di sini ada deindustrialisasi khususnya di sektor mineral logam," ujarnya.

Untuk sektor industri mineral non-logam, kata Wiwik, pihaknya tengah memetakan komoditas mana yang berpotensi untuk hilirisasi. Saat ini sudah ada empat, yakni silika, grafit, ilmenit, dan aspal buton.

Dalam upaya menumbuhkan industri pengolahan silika, Indonesia memerlukan peningkatan investasi dalam industri metalurgical-silicon sebesar US$300 juta dengan kapasitas produksi 32.000 metrik ton per tahun.

Selanjutnya, dibutuhkan juga investasi pada sektor industri polysilicon sebesar US$373 juta dengan kapasitas produksi mencapai 6.500 metrik ton per tahun.

Terkait rencana investasi tersebut, diusulkan adanya pembatasan ekspor bahan baku mentah silika melalui neraca komoditas serta percepatan investasi industri intermediate.

Wiwik menambahkan Kemenperin juga akan memperkuat rantai nilai industri pengolahan ILMENIT untuk bahan baku cat atau coating. “ILMENIT merupakan mineral krisis hasil produk sampingan pengolahan timah, zirkon dan pasir besi yang mengandung logam sangat berharga, yaitu titanium,” ujarnya.

Kritikan Faisal Basri terhadap kinerja manufaktur

Sebelumnya, Faisal menyebut saat ini pemerintah tidak punya strategi industrialisasi yang jelas sehingga menyebabkan deindustrialisasi terjadi di dalam negeri.

“Tidak ada strategi industrialisasi, yang ada adalah kebijakan hilirisasi. Sekadar bijih nikel dioleh jadi NPI (nickel pig iron) atau jadi feronikel, lalu 99 persen diekspor ke Cina. Jadi, hilirisasi di Indonesia nyatanya mendukung industrialisasi Cina,” kata Faisal dikutip dari saluran YouTube INDEF.

Berdasarkan penjelasan Faisal, kebijakan industrialisasi mampu meningkatkan perekonomian pada struktur industri lokal dan meningkatkan nilai tambah dalam negeri. Sedangkan hilirisasi yang dilakukan Indonesia tak diolah sampai menjadi produk akhir bernilai tinggi.

Related Topics