NEWS

Hilirisasi Dinilai Merugikan, Bahlil ke IMF: Enggak Usah Ikut Campur

Bahlil ungkit resep gagal IMF ke Indonesia usai krisis 1998.

Hilirisasi Dinilai Merugikan, Bahlil ke IMF: Enggak Usah Ikut CampurMenteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia saat bincang saat Fortune Indonesia Summit 2023 di Jakarta, Rabu (15/3).
30 June 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, meminta Dana Moneter Internasional (IMF) tidak ikut campur soal kebijakan hilirisasi tambang di Indonesia. Pernyataan tersebut dia sampaikan untuk merespons kritik IMF soal larangan ekspor komoditas mentah yang dinilai menimbulkan kerugian penerimaan Indonesia serta merugikan negara lain.

"Saran saya: dia mendiagnosa saja negara-negara yang hari ini lagi susah. Dia enggak usah campur-campur urus Indonesia. Dia mengakui neraca perdagangan kita sudah baik. Ini standar ganda menurut saya," ujarnya dalam konferensi pers, Jumat (30/6).

Menurut Bahlil, pandangan IMF dalam dokumen IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV tersebut keliru besar. Ia mengatakan sejak Indonesia melakukan hilirisasi dan menghentikan ekspor, nilai tambah yang didapatkan negara sangat besar. 

"Contoh, hilirisasi kita di Nikel. Ekspor kita 2017–2018 itu hanya US$3,3 miliar, ketika setop ekspor ore nikel, kita lakukan hilirisasi, ekspor kita 2022 hampir US$30 miliar hampir 10 kali lipat," kata Bahlil. "Ini di luar nalar berpikir sehat saya. Dari mana dia bilang rugi?"

Bahlil mengatakan sejak hilirisasi didorong, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Cina terus menurun bahkan berbalik surplus. Padahal, pada 2016-2017 defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Cina menyentuh US$18 miliar. 

"Akibat hilirisasi kita dorong, ekspor kita tidak lagi berbentuk komoditas tapi sudah berbentuk setengah jadi dan barang jadi. Di tahun 2022, defisit neraca perdagangan kita dengan Cina itu hanya US$1,5 miliar dan kuartal pertama 2023 itu kita sudah surplus US$1 miliar. Ini buat teman-teman catat ini. Jadi jangan IMF jangan dia ngomong ngawur-ngawur," ujarnya.

Di samping itu, dengan hasil hilirisasi, surplus neraca dagang Indonesia juga telah berlangsung hingga 25 bulan berturut-turut. Demikian pula dengan kondisi neraca pembayaran yang biasanya mengalami perbaikan dan bahkan terjadi surplus. 

"Berikutnya, nilai tambah. Katanya pendapatan negara enggak dapat. Tahu enggak teman-teman? 2021-2022 Alhamdulillah target pendapatan negara tercapai terus. Yang tahu pendapat negara tambah atau tidak bukan IMF kita republik Indonesia," katanya.

Bahlil juga menyatakan hilirisasi bukan hanya perkara peningkatan nilai tambah, melainkan juga pemerataan ekonomi. Sebab, daerah-daerah yang sebelumnya hanya mengekspor bahan mentah kini tumbuh lebih baik perekonomiannya pasca hilirisasi.

"Ambil contoh Maluku Utara. Sebelum hilirisasi kan ada Antam di situ. Antam ambil bahan baku saja tanpa bangun smelter di sana. Pertumbuhan ekonominya di bawah pertumbuhan nasional. Sekarang pertumbuhan ekonominya Maluku Utara di atas nasional, 19 persen. Bahkan tahun kemarin sampai 27 persen," klaimnya.

IMF dinilai tidak objektif 

Menurut Bahlil, dalam konteks pajak ekspor komoditas Indonesia mengalami penurunan pendapatan ketika larangan ekspor diberlakukan. Namun, pasca hilirisasi, hilangnya pendapatan tersebut dapat terkompensasi lewat penerimaan PPN, PPh Badan, serta PPh Pasal 21(Pajak Karyawan) yang meningkat.

Ia juga menyinggung bahwa hilirisasi juga perlu dilihat dalam konteks kedaulatan bangsa. Dus, Indonesia tidak bisa didikte oleh pihak lain dalam menjalankan kebijakan dalam negerinya.

Bahkan, ia menyinggung kondisi Indonesia pasca krisis yang sempat jadi "pasien IMF".

"Yang merekomendasikan resep untuk ekonomi kita kembali adalah IMF. Dia merekomendasikan pertama industri kita ditutup. Contoh Dirgantara. Bansos-bansos ditutup. Akhirnya daya beli masyarakat lemah. Di situlah cikal bakal terjadi deindustrialisasi. Bunga kredit dinaikkan. Hampir semua pengusaha kolaps. Kredit macet, asetnya diambil. Apa yang terjadi? Negara kita lambat menuju pertumbuhan ekonomi," kata Bahlil.

Itu sebabnya, menurut Bahlil, Indonesia tidak perlu selalu mengikuti apa yang disarankan IMF. Terlebih jika penilaian tersebut tidak objektif dan sejalan dengan tujuan negara.

"Menurut saya apa yang dilakukan pemerintah kita sekarang sudah dalam jalan yang benar," ujarnya.

Related Topics