NEWS

Inflasi AS Capai 8,5%, Ini Dampaknya ke Ekonomi Indonesia

BI masih pertahankan suku bunga di level 3,5%.

Inflasi AS Capai 8,5%, Ini Dampaknya ke Ekonomi IndonesiaShutterstock/Luis A. Orozco
13 April 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (AS) mengumumkan indeks harga konsumen Maret 2022 melonjak 8,5 persen secara tahunan (year on year/yoy) terbesar sejak Desember 1981.

Pada saat bersamaan, laporan pemerintah juga menunjukkan bahwa inflasi AS naik 1,2 persen secara bulanan atau dari Februari ke Maret. Kenaikan itu lebih tinggi dibandingkan Januari ke Februari yang hanya 0,8 persen.

Sementara secara tahunan, inflasi AS telah melonjak dengan laju tercepat dalam lebih dari 40 tahun terakhir akibat kenaikan harga makanan, bensin, perumahan dan kebutuhan lainnya.

Mahalnya harga-harga tersebut didorong oleh rantai pasokan yang terhambat, permintaan konsumen yang kuat, dan gangguan terhadap sektor pangan global dan pasar energi yang diperburuk oleh perang Rusia melawan Ukraina.

Angka inflasi Maret juga untuk pertama kalinya menangkap lonjakan penuh harga bensin setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari. Menurut AAA, harga rata-rata satu galon bensin—sebesar US$4,10—telah naik 43 persen dari tahun lalu, meskipun telah turun kembali dalam beberapa minggu terakhir.

Kenaikan harga energi telah menyebabkan biaya transportasi yang lebih tinggi untuk pengiriman barang dan komponen di seluruh perekonomian, yang, pada gilirannya, berkontribusi pada harga yang lebih tinggi bagi konsumen.

Dampak ke Indonesia

Infalsi tersebut membuat bank sentral AS The Federal Reserve akan menaikkan suku bunga secara agresif dalam beberapa bulan mendatang untuk mencoba memperlambat pinjaman dan pengeluaran dan menjinakkan inflasi.

Imbasnya, pasar keuangan memberikan perhatian penuh terhadap proyeksi kenaikan suku bunga yang jauh tinggi dari yang diproyeksikan pejabat The Fed bulan lalu.

Tentu hal ini akan berdampak terhadap Indonesia berupa arus keluarnya arus modal dari pasar keuangan. Sebab, kenaikan suku bunga The Fed bakal membuat imbal hasil (yield) obligasi Paman Sam lebih menarik ketimbang negara-negara berkembang seperti RI. 

Meski demikian, ekonom umumnya menyatakan keraguan bahwa suku bunga tinggi yang dimainkan The Fed akan berhasil mengurangi inflasi AS mendekati target tahunan 2 persen. Tilley, ekonom Wilmington Trust, misalnya, memperkirakan inflasi konsumen tahun-ke-tahun masih menjadi 4,5 persen pada akhir 2022. Sebelum invasi Rusia ke Ukraina, dia telah memperkirakan tingkat 3 persen yang jauh lebih rendah.

Adapun terkait potensi kenaikan suku bunga The Fed yang lebih tinggi di tahun ini, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menuturkan bahwa pihaknya akan terus menempuh bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dengan tetap mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional.

BI sendiri baru akan menaikkan suku bunga saat ada tanda-tanda kenaikan inflasi secara fundamental. Sebagai informasi, hingga kini bank sentral masih mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) pada level 3,50 persen.

"Sejauh ini kenapa kami masih memberikan assesmen stand kebijakan suku bunga akan kami pertahankan 3,5 persen sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi," ujarnya dalam konferensi pers KSSK, Rabu (13/4).

Perry juga menambahkan bahwa BI tak hanya akan merespons kenaikan inflasi akibat meningkatnya harga pangan dan energi seperti sekarang, melainkan juga turut mewaspadai dampak rambatan dari kenaikan inflasi tersebut.

"Jadi tekanan-tekanan harga pangan atau energi tentu saja BI tidak akan merespons first round impact. Yang kita respons adalah dampak rambatannya kalau inflasi itu kemudian berdampak secara fundamental terhadap inflasi yang indikatornya tentu saja adalah inflasi inti," ungkapnya.

Related Topics