NEWS

Kinerja Bisnis Kilang Pertamina Moncer di Tengah Kenaikan Harga Minyak

Kinerja Pertamina 2021 ditopang sektor hulu migas.

Kinerja Bisnis Kilang Pertamina Moncer di Tengah Kenaikan Harga MinyakDirektur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati. (dok. Pertamina)
07 July 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan kenaikan harga minyak dunia tak sepenuhnya merugikan perusahaan.

"Pertamina sebagai integrated energy company hulu ke hilir ini kita melihatnya seperti subsidi silang. Tahun 2021 kinerja Pertamina ini ditopang dari hulu karena hilirnya negatif. Alhamdulillah kita masih positif," ujarnya di Komisi VI DPR, Rabu (6/7).

Menurut Nicke, kenaikan harga minyak dunia dan kenaikan harga produk adalah berita baik bagi usaha di sektor hulu. Pasalnya, harga jual minyak mentah yang dihasilkan perusahaan juga ikut naik. 

Demikian pula untuk bisnis kilang, yang memproduksi minyak mentah untuk diolah menjadi BBM.  Dengan kenaikan harga minyak mentah, crack spread— perbedaan harga keseluruhan antara satu barel minyak mentah dan produk minyak bumi yang dimurnikan—juga meningkat.

"Ini juga good news karena selisih minyak mentah dan BBM yang selama ini kisarannya US$4 sampai US$6 hari ini crack spread sudah US$32-36. Malah sebulan lalu sempat ke angka US$52. Jadi sebenarnya bagi kilang ini adalah good opportunity karena bisa meningkatkan revenue-nya," tuturnya.

Sebaliknya, bagi bisnis hilir Pertamina, kenaikan harga minyak dunia akan sangat menekan margin dan berdampak negatif terhadap laba perseron. Sebab harga pokok penjualan (HPP/cost of good sold) BBM sangat bergantung pada harga minyak mentah dunia. 

"Ini akan sangat tinggi berdampaknya, karena 93 persen dari cost of good sold BBM kita adalah minyak mentah," jelasnya.

Produksi Hulu Ditingkatkan

Dalam kesempatan tersebut, Nicke juga membeberkan kondisi sektor hulu yang mengalami peningkatan produksi.

Tahun lalu, misalnya, realisasi produksi migas perseroan mencapai 897 ribu boepd. Tahun ini, targetnya meningkat 17 persen, yaitu 1,047 juta boepd, yang "realisasinya sudah mencapai 966 ribu pada akhir Mei atau meningkat 166 persen dari tahun lalu," katanya.

Capaian tersebut menurutnya tak lepas dari pengeboran agresif yang dilakukan perusahaan, baik di sumur lama maupun sumur baru, sepanjang tahun lalu hingga sekarang.

"Kalau dilihat workover totalnya juga sangat besar, angkanya hampir 12 ribu sumur workover maupun well services. Ini untuk menjaga decline rate dari existing field agar tidak terjadi. Jadi, kita coba tahan decline rate dengan workover maupun well services. selain itu kita melakukan pengeboran di sumur baru dan pengembangan dan ini agresif," ujarnya.

Meski demikian, kata Nicke, bukan berarti bisnis kenaikan kinerja bisnis hulu bisa selalu menopang di sisi hilirnya. Tanpa strategi jitu yang dijalankan perusahaan, besarnya keuntungan yang diperoleh dari produksi hulu tak akan mampu mengkompensasi penjualan di hilir.

Untuk kasus Pertamina, hal ini bisa terjadi lantaran produksi pertambangan minyak dan bisnis kilang masih jauh di bawah konsumsi BBM domestik. Untungnya untuk beberapa produk yang dikonsumsi di dalam negeri, Pertamina sudah dapat memproduksinya sendiri sehingga impor BBM dapat dikurangi.

"Sekarang kilang di dunia menikmati margin sangat besar. Dalam waktu bulan saja ini kenaikannya sangat luar biasa. Jadi di awal tahun itu US$4,68 per barel itu, hari ini di atas US$30 per barel. Jadi sangat tinggi kenaikannya sehingga produk ini di pasar sangat sulit didapatkan. Tapi, Alhamdulillah karena Pertamina sudah memproduksi Solar secara mandiri tidak lagi impor sejak April 2019, sehingga untuk gasoil kita tidak terdampak," katanya.

Related Topics