Jakarta, FORTUNE - Pemerintah menyatakan tidak semua impor tekstil dan produk tekstil (TPT) dilakukan melalui pertimbangan teknis (pertek).
Pernyataan ini disampaikan Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief, demi meluruskan opini beredar mengenai pandangan bahwa maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) disebabkan oleh lemahnya kebijakan Kemenperin.
“Justru impor terbesar bukan dari alokasi pertek impor yang diterbitkan Kemenperin. Instrumen yang dimiliki Kemenperin hanya sebagian dari rantai ekosistem importasi tekstil,” kata Febri dalam keterangannya, dikutip Kamis (25/9).
Febri menjelaskan, kesenjangan data antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan pertek tidak serta-merta mencerminkan lemahnya kebijakan kementerian tersebut. Pasalnya, barang impor juga bisa masuk melalui berbagai skema lain, seperti Kawasan Berikat, impor borongan, hingga barang ilegal—yang semuanya tidak memerlukan pertek Kemenperin.
“Ini yang perlu dipahami dulu sebelum menyampaikan opini, agar tidak terjadi sesat pikir. Di ruang demokrasi boleh berpendapat, tetapi harus dibarengi pemahaman dan data objektif,” katanya.
Menurut Febri, total kode HS untuk industri TPT dari hulu ke hilir mencapai 1.332 pos tarif. Dari jumlah tersebut, sebanyak 941 HS (70,65 persen) masuk kategori larangan terbatas (lartas) yang wajib memiliki PI dan Pertek sesuai Permendag Nomor 17 Tahun 2025. Sementara yang wajib Laporan Surveyor (LS) mencapai 980 HS atau 73,57 persen.
Dalam Permendag Nomor 8 Tahun 2024, hanya 593 HS (44,51 persen) yang diatur perteknya oleh Kemenperin, yang diklaim membuat Indonesia kebanjiran produk impor TPT. Sebab, banyak kode HS belum terikat larangan terbatas, laporan surveyor, atau persetujuan impor.