Senasib dengan Sritex, Perusahaan Tekstil Ini Dinyatakan Pailit

- PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBAT) dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
- Pengadilan menetapkan penundaan kewajiban pembayaran utang SBAT telah berakhir pada 29 Agustus 2025.
- SBAT tidak akan menempuh upaya hukum lanjutan dan menyerahkan seluruh aset perseroan ke tangan kurator.
Jakarta, FORTUNE - Emiten tekstil, PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBAT), resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui putusan perkara No. 3/Pdt.Sus-PKPU/2025/PN Jkt. Pst.
Berdasarkan penjelasan manajemen kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (18/9), pengadilan menetapkan penundaan kewajiban pembayaran utang SBAT telah berakhir pada 29 Agustus 2025.
Putusan tersebut sekaligus menyatakan perseroan pailit dan menunjuk tiga kurator, yakni Asri, S.H., A. Syafrullah Alamsyah, S.H., M.Kn., serta Irwandi Husni, S.H., untuk mengurus aset perusahaan.
Perusahaan yang berlokasi di Cikancung, Bandung, ini telah berhenti beroperasi sejak Juli 2024.
“Dampak terhadap kegiatan operasional dan kelangsungan usaha perusahaan tidak terjadi pada saat putusan pailit dibicarakan,” demikian keterangan manajemen.
SBAT juga menegaskan tidak akan menempuh upaya hukum lanjutan dan menyerahkan seluruh aset perseroan ke tangan kurator.
Perusahaan tersebut dikenal sebagai produsen benang hasil daur ulang dengan kepemilikan saham mayoritas publik sebesar 51,52 persen.
Sementara itu. Tan Heng Lok menguasai 34,48 persen saham, PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero) 13,99 persen, serta Martha Intan Yaputra sebesar 0,001 persen.
BEI telah menghentikan sementara perdagangan saham SBAT sejak 17 September 2024, sebagaimana tertuang dalam Pengumuman Bursa Peng-SPT-00007/BEI.PP1/09-2024.
Kepailitan SBAT menambah panjang daftar perusahaan tekstil yang tumbang.
Sebelumnya, raksasa tekstil, PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex, beserta tiga anak usahanya, juga resmi berhenti beroperasi per 1 Maret 2025 akibat lilitan utang, yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja lebih dari 10.000 karyawan.