Jakarta, FORTUNE - Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan tiga tersangka dalam kasus korupsi pemberian fasilitas kredit kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dan anak usahanya. Sritex diduga menerapkan modus manipulatif demi mendapatkan kredit modal kerja. Namun, faktanya, dana tersebut dimanfaatkan untuk membayar utang dan membeli aset nonproduktif.
Ketiga tersangka yang ditetapkan adalah:
Dicky Syahbandinata (DS), mantan Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial Bank BJB tahun 2020.
Zainuddin Mappa (ZM), mantan Direktur Utama Bank DKI Jakarta tahun 2020.
Iwan Setiawan Lukminto (ISL), Direktur Utama Sritex periode 2005–2022.
“Saat tersangka ISL selaku Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk mendapatkan dana dari PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten serta PT Bank DKI Jakarta, terdapat fakta hukum bahwa dana tersebut tidak dipergunakan sebagaimana tujuan pemberian kredit, yaitu untuk modal kerja, tetapi digunakan untuk membayar utang dan membeli aset nonproduktif,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, dalam konferensi pers, Rabu malam (21/5).
Kejagung menyebut pemberian kredit kepada Sritex tidak melalui proses analisis yang memadai. DS dan ZM diduga melanggar prinsip kehati-hatian perbankan dengan mengabaikan hasil penilaian lembaga pemeringkat internasional seperti Fitch dan Moody’s. Lembaga tersebut saat itu memberi Sritex peringkat BB-, sebuah sinyal kuat tingginya risiko gagal bayar.
Parahnya, kredit modal kerja diberikan tanpa jaminan. Padahal, sesuai ketentuan, pembiayaan tanpa agunan hanya dapat diberikan kepada debitur dengan peringkat A. Pelanggaran ini dinilai melawan Standar Operasional Prosedur (SOP) perbankan serta Undang-Undang No.10/1998 tentang Perbankan.
Tak hanya Bank BJB dan Bank DKI, sederet bank lain juga ikut menyalurkan kredit kepada Sritex. Bank Jateng tercatat memberi fasilitas kredit senilai Rp395,66 miliar. Selain itu, terdapat sindikasi dari bank-bank pemerintah, yakni BNI, BRI, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan total kredit jumbo mencapai Rp2,5 triliun. Total tagihan utang terhadap bank BUMN dan bank pembangunan daerah yang belum dilunasi hingga Oktober 2024 mencapai Rp3,58 triliun.
“Untuk yang lain ini lagi kita kembangkan. Apakah kemudian di bank-bank pemerintah yang saya sampaikan ada sindikasi, ada bank daerah lain, terjadi modus yang sama. Karena ini masih dalam proses penyidikan,” ujar Qohar.
Akar dari penyelidikan ini bermula dari kecurigaan terhadap laporan keuangan Sritex pada 2020–2021. Dalam kurun waktu satu tahun, kondisi keuangan Sritex berubah drastis dari untung menjadi rugi besar.
Pada 2020, Sritex masih membukukan laba US$85,32 juta (sekitar Rp1,24 triliun). Namun, pada 2021, angka itu merosot tajam menjadi rugi US$1,08 miliar (sekitar Rp15,65 triliun). Perubahan drastis inilah yang memicu kecurigaan dan penyelidikan Kejagung.