Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
ilustrasi tanaman untuk membuat obat
ilustrasi tanaman untuk membuat obat (pexels.com/Chokniti Khongchum)

Intinya sih...

  • Ada sekitar 30.000 jenis tumbuhan obat di Indonesia, tapi hanya sedikit yang menjadi fitofarmaka berstandar nasional.

  • Badan POM mendorong pengembangan riset dan inovasi herba.

  • Ketergantungan bahan baku impor masih mencapai 94 persen.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Indonesia ditengarai memiliki sekitar 30.000 jenis tumbuhan yang berpotensi menjadi obat, tapi baru segelintir yang menjadi fitofarmaka berstandar nasional. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sejauh ini baru sekitar 20 fitofarmaka yang menerapkan standar ilmiah sebagai obat berbasis bahan alam yang dapat diresepkan dokter.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Taruna Ikrar, menyatakan warisan pengobatan tradisional Nusantara sebenarnya telah diakui dunia sejak ribuan tahun lalu.

“Sejarahnya, 31.000 tahun yang lalu sudah ditemukan bukti penggunaan herba dalam dunia medis. Itu menunjukkan bahwa kita sudah memiliki tradisi pengobatan alami sejak lama,” kata dia usai acara usai The 16th Annual Meeting of the WHO-International Regulatory Cooperation for Herbal Medicine (WHO-IRCH) Network 2025 di Jakarta, Selasa (14/10).

Dari puluhan ribu jenis tumbuhan, kata Taruna, ada sekitar 18.000 telah digunakan sebagai jamu, dan sekitar 71 jenis telah naik kelas menjadi obat herbal terstandar (OHT). Namun, dari jumlah tersebut, baru 20 yang diakui sebagai fitofarmaka—kategori tertinggi obat herbal yang telah terbukti secara ilmiah melalui uji klinis dan praklinis.

“Berarti masih sangat banyak potensi yang belum dieksplorasi. Untuk itu, Badan POM mendorong konsep ABG [akademisi, bisnis, dan pemerintah] agar bersama mengembangkan riset dan inovasi herbal,” ujar Taruna.

Salah satu tantangan besar industri farmasi nasional adalah ketergantungan bahan baku impor, yang saat ini masih mencapai 94 persen. BPOM menargetkan angka ini bisa perlahan turun menjadi 90 persen, lalu 80 persen, hingga akhirnya hanya 50 persen.

“Kalau itu terjadi, maka ketahanan kesehatan kita bisa benar-benar terwujud,” kata Taruna.

Ia menekankan, potensi ekonomi herba nasional juga luar biasa. Pasar obat herba dunia mencapai puluhan ribu triliun rupiah, dan di Indonesia sendiri nilainya sekitar Rp350 triliun per tahun.

“Indonesia bisa menjadi pusat rujukan dunia untuk obat herbal, bukan hanya menjadi pasar,” ujar Taruna.

Hambatan regulasi dan dukungan yang terbatas

Meski potensi besar itu nyata, perkembangan fitofarmaka nasional masih terhambat. Salah satu penyebab utamanya adalah minimnya dukungan kebijakan dan pasar, terutama pada sektor layanan kesehatan nasional.

Raymond R. Tjandrawinata, Director of Business Development and Scientific Affairs Dexa Medica, menilai pemerintah belum membuka ruang bagi obat bahan alam bersaing pada sistem kesehatan nasional, seperti formularium BPJS Kesehatan.

“Kalau saya ke dokter dan minta obat dari bahan alam, pasti tidak bisa karena belum masuk formularium nasional. Jadi, para dokter tidak bisa meresepkan obat dari biodiversitas Indonesia,” kata Raymond ditemui pada saat yang sama.

Padahal, menurutnya, Indonesia memiliki biodiversitas nomor dua di dunia setelah Brasil, dengan 20.000–30.000 spesies tanaman obat.

“Ironisnya, perusahaan multinasional dulu mencari bahan baku obat ke Indonesia, tapi kini kita justru masih bergantung pada bahan baku kimiawi impor,” katanya.

Raymond mencontohkan bagaimana bahan alam lokal bisa diolah menjadi obat berkhasiat tinggi. Dexa Medica, melalui riset panjang, mengembangkan obat antiplatelet dari cacing tanah (Lumbricus rubellus) bernama Disolf, yang membantu melancarkan pembuluh darah dan mencegah stroke.

“Ini contoh bahwa hewan yang sering dianggap remeh ternyata punya sifat farmakologis yang sangat baik. Disolf bahkan bisa menjadi alternatif dari obat konvensional seperti Aspirin atau Clopidogrel yang kita impor,” ujarnya.

Dengan adanya obat tersebut, kata Raymond, produk farmasi berbasis bahan alam Indonesia mampu bersaing dengan obat kimiawi internasional, asal didukung penelitian ilmiah dan regulasi memadai.

Namun, Raymond mengakui kondisi ideal tersebut belum bisa terwujud dalam waktu dekat. Salah satu kendalanya adalah tingginya biaya investasi pada sektor bahan alam dan lamanya waktu dalam mencapai pengembalian modal.

“Ini belum bisa terjadi sekarang. Sehingga ongkos-ongkos investasi, ROI [return on investment] itu agak lama, karena belum tercapai ekosistem ekonomi yang mendukung. PR-nya masih di pemerintah,” ujarnya.

 

 

Editorial Team